Profil Sutardji Calzoum Bachri


Sutardji Calzoum Bachri, dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1943 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sutardji adalah anak kelima dari sebelas saudara dari pasangan Mohammad Bachri (dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah) dan May Calzoum (dari Tanbelan, Riau).
Dia menikah dengan Mariham Linda (1982) dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi. Kariernya di bidang kesastraan dirintis sejak mahasiswa yang diawali dengan menulis dalam surat kabar mingguan di Bandung.
      Selanjutnya, ia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison, dan Budaya Jaya.Di samping itu, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itu, Sutardji Calzoum Bachri diperhitungkan sebagai seorang penyair.
Pada tahun 2000—2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas setelah berhenti menjadi redaktur majalah Horison.
      Sutardji Calzoum Bachri selain menulis juga aktif dalam berbagai kegiatan, misalnya mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda (1974), mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober 1974—April 1975), bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan taufiq Ismail
Ia pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak, pernah diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia.
       Sutardji dengan “Kredo Puisi”nya menarik perhatian dunia sastra di Indonesia.
Beberapa karyanya adalah O (Kumpulan Puisi, 1973), Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan Kapak (Kumpulan Puisi, 1979). Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from The Word (USA), Westerly Review (Australia), Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975), Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), Parade Puisi Indonesia (1990), majalah Tenggara, Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).       
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia.
Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
      Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi “Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji” Penghargaan yang pernah diraihnya adalah Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1997), Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993), Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).


»»  READMORE...

Bunyi dalam Puisi Karya Sutardji Calzoum Bahri


Bunyi dalam Puisi Karya Sutardji Calzoum Bahri
2.1 Pengertian Bunyi
            Dalam puisi, bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu, melodi, irama dan sebagainya.
Menurut kamus istilah sastra (Laelasari,2006:58) Bunyi merupakan nada, laras, suara yang ditangkap atau diterima oleh alat indera, terutama alat-alat bicara.
Contoh:
                        Batu Belah
Rang....rang....rangkup
Rang....rang....rangkap
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbuni berganda kali
                                                            (Amir Hamzah)

2.2 Unsur-Unsur Bunyi
Ada tiga ciri umum puisi, yang pertama adalah pola bunyi atau rima. Rima adalah penataan unsur bunyi yang ada dalam kata. Penataan ini berupa pengulangan bunyi yang sama pada satuan baris atau pada baris-baris berikutnya dalam bait. Contohnya puisi lama seperti pantun dan syair, pola bunyi sifatnya tetap. Contohnya pantun berima ab-ab dan syair  berima aa-aa. Yang kedua adalah irama. Irama terlihat sangat jelas saat puisi dibacakan. Intonasi, penekanan kata, tempo, dan penataan rima memunculkan irama puisi. Yang ketiga adalah pilihan kata atau diksi. Kata-kata pilihan berfungsi untuk menyampaikan makna puisi. Kata-kata juga dipilih berdasarkan efek bunyi yang ditimbulkan jika dibacakan. Kata-kata yang dipilih dapat berupa kata-kata yang objektif maupun emotif.
            Menurut Hasanuddin (2002:56) terdapat berbagai beberapa unsur bunyi:
1.      Irama
Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana. Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta didalam sajak dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tecipta. Suasana melankolis akan menyebabkan tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan dinamik tinggi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian: Ritme dan Metrum.
Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan halnya menjadi gema, dendang penyair (Semi 1984:109).
2.      Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan Efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan didalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah atau sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya. Menurut Pradopo (2007:27) menyatakan bahwa kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, ini disebut Kakafoni. Kakafoni ini cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serta tak teratur bahkan memuakkan.
3.      Onomatope
Onomatope salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak. Istilah Onomatope menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984:54) adalah Penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang. Istilah lain untuk onomatope ini adalah tiruan bunyi.
Contoh : “desau angin”, “ngiaau”, “cicit”
4.      Aliterasi
Pemanfaatan bunyi dengan cara lain dapat pula dilakukan, yaitu dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan.
Istilah Aliterasi menurut Kamus Istilah Sastra (Laelasari, 2006:23) adalah majas perulangan yang memanfaatkan kata-kata yang bunyi awalnya sama; sajak awal   (untuk mendapatkan efek kesedapatan bunyi); pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan.
5.      Asonansi
Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi secara berulang –ulang dalam satu baris sajak. Menurut kamus istilah sastra laelasari (2006:45) Asonansi merupakan perulangan bunyi vokal dalam deretan kata; Purwakanti
Contoh:
Dalam tupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
                                                            (Amir hamzah)
6.      Anafora dan epifora
Satu lagi cara memanfaatkan bunyi didalam sajak guna menimbulkan unsur kepuitisan disebut Anafora dan Epifora. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut Anafora, sedangkan yang disebut Epifora adalah pengilangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir-akhir larik saja. karena adanya persamaan bentuk yang diulang maka sekaligus pengulangan itu menyangkut pengulangan bunyi yang sama.
Menurut Kamus Istilah Sastra Laelasari (2006:31) Anafora pengulangan bunyi pada kata struktur sintaksis yang terdapat pada larik-larik atau kalimat-kalimat yang berurutan dengan tujuan untuk memperoleh efek tertentu; penunjukkan kembali pada suatu anteseden yang ditandai dengan pengulangan atau substitusi gramatika; pengulangan sebuah kata atau lebih pada awal beberapa larik sajak atau kalimat yang berturut-turut dengan maksud mencapai efek kesedapan bahasa atau keefektifan bahasa.
Contoh:
                        SONET X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandanganku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
siapa Aku
                                                                        ( Sapardi Djoko Damono:1968)
            Sedangkan Epifora adalah pengulang sebuah kata atau lebih pada akhir beberapa larik sajak atau pada akhir beberapa frase yang berurutan untuk mencapai kesedapan bunyi atau keefektifan bahasa; pengulangan kata-kata untuk penegasan dalam puisi.

            Menurut Waluyo (1995:90) Bunyi terbagi menjadi:
1.      Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas. dengan pengulangan bunyi itu,puisi menjadi merdu jika dibaca. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, intonasi, repetisi bunyi, dan persamaan bunyi. Menurut Kamus Istilah Sastra (Laelasari, 2006:213) Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi yang berfungsi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi. Dengan adanya rima itulah, efek bunyi, makna yang dikehendaki penyair semakin indah dan makna yang ditimbulkannyapun lebih kuat; pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun akhir larik sajak yang berdekatan.
Contoh:
Hampa
Sepi di luar sepi menekan mendesak
Lurus kaku pepohonan tak bergerak
Sampai ke puncak sepi memangut
Tak satu kuasa melepas renggut
                                                                        (Chairil Anwar)

2.      Ritma
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma puisi berbeda dari metrum (matra). Metrum berupa pengulangan kata yang tetap. metrum sifatnya statis. Ritma berasal dari bahasa yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus, dan tidak putus-putus ( mengalir terus).

            Peranan Bunyi dalam Sajak
Bunyi dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi- bunyi berperan menentukan makna, maka didalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam puisi tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat puisi ketika berhadapan dengan puisi yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti di dalam diri pembaca dan penikmat puisi juga tidak akan muncul.

            Bunyi dalam Puisi Karya Sutardji Calzoum Bahri
Keharuan yang indah, itulah yang kiranya dapat kita temui pada beberapa puisi Sutardji Calzoum Bachri. Maka lukisan luka yang kita temui dalam sajak-sajaknya pun sungguh membawa kita pada suatu keharuan yang indah, suatu tragedi. Suatu lukisan yang digoreskan melalui mantera, itulah kedalaman makna yang dicapai oleh seorang manusia yang biasa dipanggil Tardji itu. Membaca sajak-sajaknya adalah suatu pengalaman menuju suatu tanah mistis. Sajak-sajaknya adalah lukisan luka yang membawa kita pada suatu pencapaian ekstase. Hal ini mungkin kedengaran terlalu mengada-ngada. Tapi untuk lebih memahami mengenai lukisan luka ini, ada baiknya kita mencoba belajar membaca puisi-puisi Sutardji melalui salah satu puisi, yang merupakan karya puncaknya, yaitu “Belajar Membaca”. Puisi yang ditulis tahun 1979 itu lengkapnya berbunyi:
BELAJAR MEMBACA
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku

(dikutip dari O AMUK KAPAK, 2002: 109)
Puisi “Belajar Membaca” bukanlah sekedar mantera. Ia bukan pula sekedar permainan bunyi, bukan sekedar menata kesejajaran atau kontras antara konsonan l dan k serta vokal a, i, dan u. Ia juga bukan sekedar kombinasi kata luka, kaku, kaki, kau, aku, kalau, dan akhiran kah hanya demi membentuk dunia bunyi dan makna yang unik. Ia juga bukan sekedar menyarankan semacam keinginan untuk berbagi pengalaman dalam luka, dalam penderitaan. puisi “Belajar Membaca” adalah suatu lukisan yang menyeru-nyeru panggilan mistis. Panggilan ini membangkitkan kembali suatu gambaran mengenai purba dari ritual pemujaan dewa kemabukan dan mimpi. Cobalah baca puisi“Belajar Membaca”, pandanglah dan sekaligus lisankan, maka kita akan mendapati suatu rupa yang sedap dipandang sekaligus bunyi yang sedap didengar.     
Dengan kredonya tardji melepaskan kata-kata dalam puisi-puisinya melompat-lompat, menari-nari bebas mencari dan menemukan maknanya sendiri. hal itu dapat kita simak dalam puisi berikut:
Sepisaupi

Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Sajak sutardji diatas menunjukkan penggunaan aliterasi yang dimanfaatkan sedominan mungkin. akibatnya, muncul unsur irama dan musikalitas. unsur musikalitas dari sajak tersebut ternyata mampu memancing dan menciptakan sugesti bagi pembaca untuk menyatu dengan puisi tersebut. Aliterasi pada sajak diatas persamaan serta pengulangan bunyi/ s/ pada awal kata setiap barisnya.
Menariknya, Sutardji tidak hanya menampilkan suatu kesan luka yang melulu pedih dan perih, seakan-akan luka hanya membawa tragedi di atas muka bumi ini. Ada kalanya ia justru ia menulis sajak yang menghadirkan kesan komedi mengenai luka tadi. Dalam salah satu sajak berjudul “Luka” yang dibuatnya tahun 1976, lengkapnya ia menulis:
LUKA
ha ha
(O AMUK KAPAK, 2002: 78)
Mengenai luka yang kerap muncul dalam sajak-sajaknya, kiranya Sutardji sudah menjelaskannya secara tidak langsung ketika ia mengutip perkataan orang Spanyol: El poeta habla de la boca de la herida, penyair bicara dari mulut luka (SCB, 2001:22). Hal ini tidak mengherankan kita, sebab penyair memang ditantang untuk menghadirkan suatu keharuan. Alasannya, timbulnya keharuan sudah lama dianggap sebagai ukuran keindahan suatu sajak. Sajak dan tiap hasil seni harus sanggup memindahkan harus asli dari pada penyair/seniman, baik rasa duka maupun haru keindahan saja, Maka tak mengherankan pula apabila para pembaca pun juga sering mengejar keharuan ketika membaca suatu sajak.
           
Unsur yang menonjol dari puisi yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek musikalitasnya.
Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi yang sama bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannnya secara teratur. Cara-cara semacam ini mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat puisi untuk bisa sampai pada suasana haru. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, khususnya sebagian dari sajak-sajak awalnya memanfatkan unsur bunyi sepenuhnya seperti pada puisi berikut:
SHANG HAI

ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
tak ya ping tak ya pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kamu pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kamu ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakmu merancap nyaring
1973
(Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak: 84)


Pil
memang pil seperti pil macam pil walau pil
hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
meski pil tapi tak pil apalah pil
pil pil pil mengapa gigil? ku demam pil bilang
obat jadi barah
apakah pasien?
tempeleng!

1976
(Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak:91)

            Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri diatas diciptakan dengan cara mempermainkan unsur bunyi. Akibatnya, unsur musikalitas menjadi dominan pada puisi-puisi tersebut. Dengan memanfaatkan bunyi sepenuhnya, irama sajak tercipta, dan hal tersebut dapat membantu menciptakan suasana tertentu. hal itu menyebabkan pembaca atau penikmat berkonsentrasi dan ”meleburkan” diri kedalam puisi-puisi tersebut. Dengan cara seperti itu, akhirnya daya saran yang dimiliki sajak akan sampai kepada penikmat atau pembaca.
            Selain itu ada juga contoh Sajak Sutardji Calzoum Bachri:

PARA PENYAIR

para penyair
     jangan biarkan dirimu
         berlamalama
             di lembahlembah

jangan lama terperangah
     pada keanekaragaman tanah

lembah dan lereng
     memang disiapkan
         agar kalian
             mengingat puncak
                 menantang
                     meraih
                         atas

para penyair
     jangan biarkan
         batinmu
             tercengang pulas
                 tenggelam
                     di kelembahan badan

ayo
     mendaki
         taklukkan kelembahanmu
             walau pedih tebing-tebing
                 harus kau atasi kepedihan
                     meski luka di lembahlembah
                         atas kedukaan
                             jangan tenggelam
                                 ingat!
                     Ibrahim tak suka barang tenggelam

ayo
   &nbspmengatas
       &nbspmeninggi
           &nbspsampai tanah menyatu
                 mengatasi keanekaragaman tanah
                     sampai langit
                         tanah
                             menyatu
                                 mengucap
                                     hakikat

ayo
     para mawar
         tanggalkan kelopak pongahmu
             mendakilah

di puncak
     tanah menyibak langit
         langit menyibak tanah
             tanah mendekap langit
                 langit memeluk tanah
                     saling membuka
                         saling menutup berpelukan

di puncak
     segalanya terbuka
         dan tersimpan

1987

           Sajak "Para Penyair". Tak banyak, atau bahkan tak ada penyair yang kukuh memposisikan diri seperti Sutardji. Di sajak ini dia mengajak, "ayo (para penyair, mendakilah, taklukkan kelembahanmu..." Orang yang mengajak orang lain untuk menaklukkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, maka bila tidak ingin ditertawakan maka orang itu harus sudah melakukan dan menaklukkan apa yang dia ajakkan itu. Sutardji saya kira sudah sangat menyadari bahwa dia sudah menjalani pendakian-pendakian sendiri, dia sudah taklukkan kelembahannya sendiri. Dia mengajak, karena dia sudah tahu bahwa, "di puncak segalanya terbuka dan tersimpan".
           Sutardji juga menyindir - dengan cara halus - para penyair yang berwangi-wangi dengan sajak wangi, "ayo para mawar, tanggalkan kelopak pongahmu, mendakilah!"
Sajak ini masih sanggup memperlihatkan kepiawaian Sutardji menyusun pengucapan yang khas, dan tak terlawankan itu. Ia tawarkan frasa "keanekaragaman tanah", "di kelembahan badan", "tanah menyibak langit", "tangah mendekap langit", "langit memeluk tanah". Frasa-frasa ajaib tapi tidak sekedar kegenitan fesyen bahasa itu saya kira hanya bisa muncul dari penyair yang pernah punya kredo membebaskan kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya. Sutardji memetik apa yang dimungkinkan oleh pembebasannya itu: KREATIVITAS!
             Terhadap Sutardji tentu kita bebas pula bersikap. Dia tidak hendak menyumpal telinga kita dengan teriakan-teriakannya. Dia pasti juga tidak hendak mendoktrin kita untuk patuh pada seruan-seruannya. Tapi, ah bagi saya, betapa benarnya ia. Siapapun kita, tak hanya bila kita penyair, kita memang tak harus membiarkan batin kita tercengang pulas tenggelam di kelembahan badan.
            Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.
            Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan ontara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
           Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini:

hai Kau dengar manteraku

kau dengar kucing memanggilMu

izukalizu

mapakazaba itazatali

tutulita

papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu

tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco

zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege

zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang

ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu

ku zangga zegezegeze aahh....!

nama nama kalian bebas

carilah tuhan semaumu



            Dalam sajak ini dua kalimat pertama "Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu" adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.







kuliah sambil kerja, bisnis rumahan, online juga bisa, gunakan gadget anda,, 
dan dapatkan penghasilan berjuta-juta,, BISA !!! satu mimpi berjuta kenyataan
liat info disini ya http://www.dbc-network.com/?id=Desipebisnis88,,, atw add pin 2af9013c




»»  READMORE...

Syair Surat Kapal


“Syair Surat Kapal”


Assalamu’alaikum saye ucapkan
Hadirin dan hadirat para undangan
Ibu dan Bapak keluarga dan tuan
Riwayatnya kisah juragan heriyan

Bismillah itu permukaan kalam
dengan nama Allah khalikul alam
Melimpahkan rahmat siang dan malam
Kepada mukmin dan makhluk alam

Marilah terlebih dahulu kita panjatkan
Puja dan puji kepada Tuhan
yang Telah banyak memberi kenikmatan
Kepada semua wahai insan sekalian

Beiring salawat dan salam kita sampaikan
Kepada Nabi Muhammad Nabi junjungan
yang telah membawa kita dari alam kebatilan
Menuju alam yang penuh ilmu pengetahuan

Masuklah kisah kepada juragan
Orangnya gagah beserta tampan
Mencari pertama sangat handalan
Anak dari Encik Burhan yang jadi idaman

Encik Heriyan name nakhoda
Wajahnya tampan sangat perkasa
Lemah lembut busi bahas
Dalam pergaulan sangat disuka

Reniwati si cantik jelita
Ramah tamah budi bahasa
Anak kesayangan ayah dan bunda
Sebuah hati pelipur lara

Cik Reni tak ketentuan lonjak
Kepada ayahandanya dia mendesak
Reni bilang si anu nak jumpa uwak
Lawan cakap coba di bawa



Encik Reni Burhan dan Sihar (paman pihak laki-laki) yang ramah
Suami istri yang bijaksana
Sadar dan maklum keadaan anaknya
Diajak keluarga untuk bercengkerama

Pada hari yang telah ditetapkan
Datanglah paman untuk menanyakan
Siapa punya gadis idaman
Si ujang mendesak nak minta kawan

Dalam perundingan di waktu itu
Kedua belah pihak sangat setuju
Diantar tanda beserta kelambu
Si gadis ketawa tersipu-sipu

Bersiap-siaplah kedua belah pihak
Baik pihak perempuan maupun laki-laki
Peralatan semua harus dilengkapi
Undangan ditebar di sana sini

Encik Ijul bertugas sebagai kelasi
Urusannya khusus tali-temali
Begitu kapal rapat ke tepi
Tali diikat ke batang keladi

Seorang lagi kakaknya pula
Encik Hani si tukang masak
Kerjanya pantas dan cepat
Ikan digoreng periuk pun masak

Encik Mion muda orangnya
Dialah konon menjadi senang
Mukanya lembut kumis melintang
Salah sedikit di menendang

Encik Rusli urusannya ke tengah  ke tepi
Segala kerja dialah ahli
Kalau terlambat minum kopi
Hidangan sejuk mata berapi

Encik Buyung orang yang bijak
Dialah konon si tukang masak
Belum bekerja gaji dipintak
Maklumlah pulak kelakuan budak




Encik Atik orangnya berada
Semua orang suka dia
Segala macam dia punya
Tempat meminjam yang tak ada

Encik Nahar urusannya lampu
Kalau kerja tak ingat waktu
Orang dirumah menungu-nunggu
Rupanya Nahar asyik melagu

Encik Abas si tukang minyak
Kerja rajin cerita tak banyak
Kalau badannya lah letak
Dia kerja sambil merangkak

Encik Simas orangnya manis
Memang dia ahli menumis
Walaupun pedas buatannya laris
Sambil makan hidung pun menenes (berair)

Sibuk juga orang di dapo
Ada pula membentang tiko
Kaki sasomotan di lama bersimpo
Angkat lutut lalu belunjo

Merapatlah kapal dengan segera
Jangkar di buka bertahan pula
Juragan di pimpin pengawal pribadinya
Untuk menuju ke halaman permata

Didekatkanlah dia berdua
Sampailah dia ke barak tangga
Selawat dan salam di kumandangkan pula
Beras dan kunyit ditaburkan serta

Masuklah dia berdua ke dalam istana
Langsung menuju ke kursi pelaminannya
Bersandinglah duduk dia berdua
Seperti pinang di belah dua

Usailah dia berdua di dalam pesta
Akad nikahnya sudah berlangsung pule
Resmilah sudah hubungan dia
Jalinlah rumah tangga hidup bahagia




Wahai Heriyan ingatlah pesan pemerintah
Mempunyai anak cukuplah dua
Lingkaran biru jadi langganan pula
Mudah-mudahan hidup selalu bahagia

Kami berdoa kepada yang maha kuase
Agar engkau berdua hidup bahagia
Dikarunia anak yang sangat berguna
Berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa

Kasih dan sayang suami isteri
Membuat rumah tetap berseri
Jauhkn rasa mementingkan diri
Gelisah hilang bencana pun lari

Sebelum surat kapal kami tamatkan
Kedua pengantin saya harapkan
Kalau ingin hidup dalam kebahagiaan
Lima waktu jangan tinggalkan

Kami sudahi di sini dulu
Lain kali kita bertemu
Mana yang kena jangan mengaru
Kawan Cuma tukang melagu

Wassalamu’alaikum saya ucapkan
Kepada hadirin serta undangan
Terima kasih atas perhatian
Mohon maaf atas kesalahan


Nama: Desi Zulinarti
Nim: 0705113168
Mata Kuliah:Sanggar Sastra
»»  READMORE...

Analisis Pencitraan Puisi-puisi karya Dasri Al-Mubary


Analisis Pencitraan dalam Puisi-puisi karya Dasri Al-Mubary
            Berdasarkan jenis-jenis pencitraan yang dinyatakan oleh beberapa pendapat pakar, dapat dirumuskan bahwa pencitraan terbagi menjadi enam yaitu penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, perabaan, dan gerakan. Atas dasar bentuk pencitraan inilah penulis menganalisis puisi-puisi karya Dasri Al-Mubary.
Beberapa puisi yang terdapat dalam karya Dasri Al-Mubary pada kumpulan puisi Zikirhari ini  memiliki berbagai pengimajian  seperti berikut:
  1. Pengimajian Visual
Menurut Waluyo (1987:79), “jika penyair ingin melukiskan imaji penglihatan (visual), maka puisi itu seolah-olah melukiskan sesuatu yang bergerak-gerak.” Dengan kata lain pengimajian visual (penglihatan) merupakan suasana yang ditimbulkan oleh indera penglihatan sehingga dapat menciptakan hal-hal yang tidak terlihat menjadi seakan-akan terlihat. Beberapa puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi zikirhari ini memiliki citraan visual seperti terlihat pada kutipan berikut:

taman

bungabunga memetik saru
melintas angin
dalam bi
maa berzikir
senjalah airmata
melaut
sukma
bi
makamakalah
maa
kalam
(Al-Mubary, 1999)

Setelah membaca puisi diatas, dari judulnya sudah mencerminkan sesuatu yang kita seakan-akan dapat melihat sebuah taman, dimana di taman itu terdapat bunga-bunga dan angin yang juga ikut berzikir kepada kalam (sang pencipta). Citraan visual yang terdapat dalam puisi taman mampu merangsang indera penglihatan sehingga pembaca seolah-olah dapat melihat gambaran yang diungkapkan penyair.
ibu bulan
...
daundaun runduk sujud padamu
pohonpohon subuh sujud padamu
airair cucicuci beku sujud padamu
burungburung kicaukicau sujud padamu
anginangin menyejuk badansujud padamu
titah padamu malaikat asuhmu
ke asal jalanjalan pulang
nah

gapailah sampaisampai
di tiang arsyi
di pusat sebab
pulangpulang musabab
...
(Al-Mubary,1999)
Pada puisi ibu bulan diatas juga terdapat citraan visual. setelah membaca kutipan puisi tersebut dapat tergambar seolah-olah kata yang tertuang dalam puisi ini dapat dilihat seperti kata daundaun, pohonpohon, airair, burungburung, anginangin sujud padamu. kata sujud menggambarkan sesuatu yang dapat dilihat.

ceritahari
ku

burungburung memetik sayap
terbang
di atas waktu
nazar dan bul-bul
di sana
(Al-Mubary, 1999)

Pada kutipan puisi ceritahari ku karya Dasri diatas juga terdapat citraan visual. Dikatakan pada puisi ini menggunakan citraan visual karena kata-kata yang terdapat dalam puisi tersebut dapat mengungkapkan sentuhan penglihatan pembaca yang diungkapkan oleh kata tersebut dapat kita lihat dengan pandangan mata. Hal ini terlihat pada burung yang mengepakkan sayapnya, terbang. Burung nazar dan bul-bul juga terdapat disana.

  1. Pengimajian Auditif
Pengimajian auditif (citraan pendengaran) berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha memancing bayangan pendengaran. sehingga ide yang disampaikan penyair seperti hadir diri pembaca. Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (auditif), maka jika kita menghayati puisi tersebut, seolah-olah mendengarkan sesuatu. Dalam kumpulan puisi zikirhari ada beberapa puisi yang mengandung citraan pendengaran (auditif) seperti yang terdapat dalam kutipan puisi berikut ini:
dengarkah

dengarkan belantara mengurai airmata
sejurai hari tenggelam dalam mimpi riam
muaranya entah di mana
hilirnya entah di mana
ombak menampar buih putih bersurai
diantar kedukaan yang membangun menara
jatiwangsa
jalan waktu adgerimis

kunikahi dikau dengan maskawin
sehelai kafan
berpasangan malaikat
menabuh huruf lewati zikirzikir

negeri firman di kakilangit allah menyemai
belulang benih padi
amis getah mengukir
menara kedukaan
jadi ayah ibu
tawaduk
basmalah
(Al-Mubary, 1999)

Puisi dengarkah di atas mengandung citraan pendengaran (auditif). Hal ini tergambar jelas dari judul puisi tersebut yakni dengarkah yang mengungkapkan sentuhan pendengaran dan di tegaskan dari isinya. Pembaca seakan-akan dapat merasakan bagaimana situasi yang terjadi karena adanya kata dengarkah ini.

perjanjian denganmu ya allah

aku ingin kembali ke rahim ibu
tika perjanjian kita kau ikrarkan
sebab mati bagiku tinggal waktu

kini
di waktu kutunggu
aku ingin mengulangi perjanjian itu
tika wajah tanpa muka
menatap kemuraman di dahayamu
walau
berkali-kali
upinjam tangantanganmu
menjuluk gemintang ibu

mabukku tinggal sepi ya allah
pelata langit saksi perjanian kita
telah kutinggalkan begitu lama
hingga lupaku jadi nyanyian sejadah

jika kematian di
pertemuan kekal denganmu
ambillah nyawaku ya allah
biar
tatapku tak pernah lena
(Al-Mubary, 1999)

Puisi perjanjian denganmu ya allah juga mengandung citraan pendengaran (auditif). Hal ini terlihat dari judul puisi tersebut yang mengungkapkan perjanjian yang diikrarkan.
bertolak

setiap aku bertolak
gorden jendela pintu melambai rindu
mengoyak kepeihan
‘tak ka nada tamu datang hari ini’
bertolaklah
walau hanya angin kau reguk dalam dahaga
asap rokok mengabarkan aku kencani dikau
dalam batang-batang usia bergerak mundur
dan ikhlas melepas segala ikatan
pada detikdetik tak pernah pas
‘ada tamu mengintip lewat reben jendela’
kerlingan dikau di batas usia

bertolaklah
(Al-Mubary,1999)

  1. Pengimajian Taktil (Citraan Rasa)
Pengimajian taktil (citraan rasa) seperti yang sudah di atas menyatakan bahwa jika imaji taktil yang ingin digambarkan, seolah-olah merasakan sentuhan perasaan. Pengimajian taktil berhubungan dengan sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atau sentuh. Dalam kumpulan puisi zikirhari ada beberapa puisi yang mengandung citraan rasa (taktil) seperti yang terdapat dalam kutipan puisi berikut ini:

cerita hari
ku
...
sunyi kenduri dalam diriku
melahap hidangan di piringku
gelas sepi menari di bibirku
aku lahap ke punca mabuk
aku pulangpulangkan kedalam puncak ombak
ke dalam debur debur gelombang
...
(Al-Mubary, 1999) 

Kutipan puisi ceritahari ku di atas memperlihatkan bahwa pada puisi tersebut memperlihatkan citraan rasa (taktil) untuk mengkonkretkan sesuatu. Ketika membaca kutipan puisi ini, seolah-olah menggambarkan perasaan sunyi dan sepi pada diri pengarang dan suasana sunyi dan sepi itu membaur dalam ombak gelombang.
syukurku

aku telah rasa nikmat kebodohan
di kau titipkan dalam rahim ibu
aku telah merasakan nikmat dari tikaman sejarah
di kau titipkan dalam bejana ayah

walau akau sakai
sakai
(Al-Mubary, 1999)

Imaji taktil (citraan rasa) pada puisi syukurku terlihat jelas di tiap barisnya seperti kata merasakan nikmat yang menggambarkan suasana atau kondisi penyair walaupun kenikmatan itu bertolak belakang dari arti kenikmatan yaitu kenikmatan kebodohan dan kenikmatan dari tingkaman sejarah.
Berdasarkan uraian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa:
No
Judul Puisi
Citraan
Penglihatan
Pendengaran
Perasaan
Gerak
1.
Ibu Bulan
V



2.
Dengarkah

V


3.
Perjanjian denganmu ya allah

V


4.
Bertolak

V


5.
Cerita hariku
V

V

6.
Syukurku


V

7.
Taman
V



Jika dilihat dari segi jumlah citraan yang digunakan dalam sebuah puisi, penulis telah menganalisis dan menyimpulkan bahwa dalam puisi karya Dasri Al-Mubary lebih cenderung menggunakan satu jenis pencitraan. Puisi yang menggunakan satu jenis pencitraan terkesan kurang estetik, hal ini dikarenakan kata-kata yang digunakan dan kelengkapan puisi tersebut tidak memiliki variasi-variasi yang bisa menarik pembaca. Selain itu, puisi karya Dasri Al-Mubary juga ada yang menggunakan lebih dari satu pencitraan. Puisi yang mengandung lebih dari satu pecitraan tersebut lebih memberikan kesan yang estetik dan pembaca seolah-olah merasakan apa yang diimajinasikan oleh penulis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dari 7 puisi karya Dasri Al-Mubary , lebih cenderung menggunakan pencitraan, penglihatan dan pendengaran.
Alasan Penulis menganalisis  puisi karya Dasri Al-Mubary ialah:
  • Salah satu sastrawan Riau yang telah berkiprah di UNRI khususnya FKIP, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
  • Ingin mengetahui karya-karya Dasri Al-Mubary khususnya dalam bidang Perpuisian.



»»  READMORE...