BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara sastra Melayu tidak terlepas dari bahasa
Melayu yang telah dikenal berabad-abad lamanya menjadi bahasa lingua franca di
banyak negara dan utamanya di Nusantara. Di Indonesia, bahasa Melayu yang
mendapat pembinaan di Pulau Penyengat pada masa Kerajaan Melayu Riau-Johor,
dengan tokoh utama Raja Ali Haji. Seiring Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bahasa
Melayu dinamai pula dengan bahasa Indonesia.
Bahasa
dan sastra Melayu sampai saat ini terus tumbuh, berkembang dan terbina dengan
baik di berbagai negara, utamanya Indonesia, Malaysia dan Brunai. Maka, bukan
sesuatu yang berlebihan, tetapi patut adanya bahasa Melayu diupayakan menjadi
bahasa internasional, bahasa di Perserikatan Bangsa-bangsa.
Ketika bahasa Melayu diterima sebagai bahasa
Indonesia, ia telah mencapai tingkat kematangan yang cukup mengesankan.
Ditambah dengan keinginan melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa pada awal
abad ke-20 dan kemudian hasrat menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa
modern pada paruh kedua abad itu, bahasa Indonesia adalah alat yang amat
sejalan dengan semangat modernitas. Modernisasi Indonesia dengan demikian
didukung oleh bahasa nasionalnya yang memang berwatak modern. Membawa serta
watak bahasa Melayu yang terbuka, egaliter, dan praktis tidaklah mengherankan
bahwa bahasa Indonesia dengan cepat berkembang menjadi bahasa modern. Ia segera
menyerap bahasa etnis-etnis lain, menyerap juga bahasa negara-negara lain
sehingga ia benar-benar mampu menjadi alat artikulasi modern.
Usaha merevitalisasi kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung
cukup marak, terutama di Riau. Berbagai kegiatan berkaitan dengan usaha
menghidupkan atau menyemarakkan kembali kebudayaan Melayu kerap dilakukan,
mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan
kepada individu-individu yang memainkan peran tertentu dalam memajukan
kebudayaan Melayu.
Semua itu jelas menunjukkan adanya kesadaran generasi Melayu kini
akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan
kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkan juga memajukannya sampai
pada tingkat yang membanggakan, seperti telah dicapai kebudayaan Melayu pada
masa silam.
Salah satu unsur penting dari kebudayaan Melayu tentu saja bahasa
Melayu. Ini bukan saja karena bahasa Melayu sejak berabad-abad silam merupakan
lingua franca di kawasan Nusantara, melainkan terutama juga karena corak atau
watak yang memang inheren dalam bahasa Melayu itu sendiri. Dengan wataknya yang
unik, bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi dalam
pergaulan sehari-hari di dunia Melayu dan kawasan Nusantara, tetapi juga
berkembang menjadi bahasa yang kokoh sebagai alat ekspresi spiritual dan
intelektual sehingga lingkup pengaruhnya melampaui wilayah geografis dunia
Melayu itu sendiri.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dalam
makalah ini ialah :
1. Apa
yang dimaksud dengan keindahan!
2.
Jelaskan
aaspek-aspek keindahan!
3. Apa yang dimaksud Doktrin “Kata Indah” dan
Fungsinya!
4. Apa
yang dimaksud dengan satra!
BAB
II
PEMBAHASAN
2. 1 Definisi Keindahan
Pengertian
istilah “keindahan” tidak sederhana lagi ketika dikaitkan dengan pemikiran
seni. Persoalannya yang mengundang pemikiran adalah membedakan keindahan
sebagai rasa (sense) dan keindahan sebagai fenomena (kecantikan, keserasian,
kondisi liris) yang menimbulkan rasa ini.
Di dunia seni,
seluk beluk keindahan dikenal sebagai persoalan “estetik”. Istilah “estetik”
ini berasal dari istilah dalam Bahasa Yunani kuno yaitu aesthesis, yang
pengertiannya adalah “persepsi rasa” (sense perception). Dalam kebudayaan
Yunani, persepsi rasa ini merupakan bagian dari dunia filsafat dan bisa
diartikan sebagai “pikiran yang muncul dari rasa” (tidak absolut), dibedakan
dari pikiran yang muncul dari logika (cenderung absolut).
Alexander
Baumgarten adalah orang pertama yang mengembangkan pemikiran itu pada Abad ke
18. Pemikiran Baumgarten yang kemudian dikenal sebagai “estetika” atau filsafat
keindahan mengkaji rasa keindahan. Filosof ini mempersoalkan dunia rasa (sense)
dan dampaknya pada pikiran. Baumgarten melihat persepsi rasa yang berkembang
dari pengalaman merasakan keindahan merupakan aktivitas mental pada manusia.
Pertanyaan yang
berkembang pada pemikiran Baumgarten : apakah fenomena keindahan bersifat
material atau immaterial? Fenomena keindahan bisa bersifat immaterial seperti
misalnya kenangan tentang sesuatu peristiwa, inspirasi, suasana, perasaan
puitis,alunan lagu dan pembacaan kisah (cerita). Namun bisa juga bersifat
material, seperti misalnya pemandangan alam, kecantikan, keserasian dan obyek
yang membangkitkan kesenangan sensual.
Dalam karya
sastra salah satu keunggulan terpenting daripada karya sastra yang dipatutkan benar-benar, ialah sifat indah-nya yang tercermin baik dalam
system ‘ide-citra’ dan system perkataan sendiri-sendiri, maupun dalam perpaduan
kedua-duanya. Dalam kesusastraan Melayu, seperti juga dalam kesusastraan dunia
Islam lain, sumber segala keindahan ialah Kudrat
Allah. Disebabkan Kudrat-Nya
itulah, keindahan-Nya yang mutlak tampil dalam keindahan pelbagai benda,
misalny dalam keindahan karya sastra. Keindahan itu sendiri dipandang sebagai
sesuatu yang luar biasa, yang memperlihatkan bermacam-macam rupa, dan sekaligus teratur dan penuh harmoni.
Keindahan yang luar biasa itulah yang menarik perhatian dan membangkitkan
keasyikan, atau sejenis birahi dalam jiwa (hati) orang yang melihtnya ataupun mendengarnya. Kegemaran akan
keindahan menimbulkan perasaan kagum dalam jiwa manusia.
Selain
dipandang sebagai keindahan luar tersebut, ada lagi sifat karangan sastra yang
dipatutkan secara benar, dan yang dianggap lebih penting, yaitu faedah atau manfaat. Faedah ini dapat dipandang sebagai keindahan dalam karya
sastra.
2.2 Aspek-aspek keindahan
1. Asal usul keindahan
Aspek pertama
yang bersangkut paut dengan asal usul atau sumber keindahan. Aspek ini
tercermin dalam penggantian istilah indah
dengan rangkaian kata yang satu arti dengan kekayaan Tuhan. Estetika Islam
membedakan antara keindahan mutlak dari keindahan fenomenal (jamal <-> husn), dengan
menggunakan istilah elok dan indah dalam karya sastra dan karangan tasawuf
Melayu. Walupun semantic istilah indah dan elok
mempunyai titik temu, namun ada juga bedanya. Indah lebih menitikberat5kan pada aspek luar yang sudah dinyatakan
dan dapat dirasai oleh pancaindra. Sedangkan elok , se3baliknya, menekankan aspek dalam yang hakiki dan
tersembunyi. Aspek dalam ini berkaitan dengan pengertian ‘kebaikan’, ‘kebajikan’.
2. Sifat-sifat imanen dari keindahan
Aspek kedua
dari pengertian indah erat berkait
dengan sifat-sifat imanen yang dimiliki oleh keindahan itu sendiri. Yang indah ialah sesuatu yang luar biasa,
yaitu sesuatu yang hairan (takjub), ajaib, gharib (ganjil), tamasya (pemandangan menarik hati).
Justru perkataan-perkataan inilah yang sering digunakan dalam hikayat klasik
sebagai sinonim perkataan indah. seterusnya
keindahan adalah sesuatu yang berbagai-bagai
atau beranekaragam, yaitu sesuatu
yang menyatakan diri dengan bermacam-macam cara. Contoh yang ditemui dengan
deskripsi “ pohon kayu berbagai-bagai rupanya,
berbagai-bagai jenis warnanya” atau kor yang mendendangkan berbagai-bagai
lagu, merupakan satu ibatrat yang digunakan dalam penggambaran desir
pohon-pohon tersebut. Setiap hikayat klasik selalu penuh dengan deskripsi
tentang berbagai-bagai bunga, burung, pakaian, melodi dan lain-lain. Karena itu
kata-kata seperti berbagi-bagai , aneka warna, banyak ragam, dan lain-laindalam karangan tersebut mempunyai
arti yang sama dengan kata indah.
Jadi keindahan
itu merupakan sesuatu yang luar biasa dan beraneka ragam. Maka, keanekaragaman
itu, atau seluruh manifestasi benda yang indah,
diatur dan disesuaikan dengan harmoni. Takrif keindahan dalam dalam tradisi
melayu yang telah dirumuskan di atas sesuai sama sekali dengan definisi yang
terdapat di dunia islam pada umumnya. Pada abad pertengahan para pengarang
kitab retorika dan puitika Arab, misalnya Abd al-Qahir al-Jurjani menganggap,
‘keghariban’ puisi dan upayanya untuk ‘memeranjatkan’ pembaca sebagai factor
pokok, yag menjamin keaktifan estetika puisi itu.
3. Psikologi persepsi keindahan
Aspek ketiga,
istilah indah berkaitan dengan
psikologi persepsi keindahan. Disebabkan oleh keindahan itu luar biasa, dan
merupakan suatu tamasya maka pastilah
keindahan itu menarik perhatian. Kemampuan keindahan untuk membangkitkan birahi
mendasari paham estetika islam pada umumnya. Rasa birahi terhadap keindahan
melahirkan rasa kagum dalam hati. Jika perasaan ini terlampau hebat, dan
segenap pancaindra dikuasai sepenuhnya oleh pernyataan indah, apabila hati (jiwa) kurang terkendali oleh akal, maka
susunan (hierarki) kekuatan jiwa yang teratur menjadi kacau, dan timbullah
keadaan-keadaan yang serupa dengan pingsan : lupa, merca, dan lain-lain.
2.3 Doktrin “Kata Indah”
Inheren di
dalam “kata-kata indah” semua ciri-ciri yang dimiliki keindahan pada umumnya.
Terutama keaktifan psikologis, kemampuannya mentransformasi keadaan jiwa.
Sementara itu, justru karya sastra yang indah
merupakan sarana utama untuk transformasi yang demikian itu.
Dengan kata
lain, keutuhan harmonis karya sastra (suatu benda; bahasa dalam aspek lafz-nya, tak lain ialah semacam benda
berupa fonetis), demikian juga keutuhan harmonis jiwa, seakan-akan terdiri dari
dua esensi harmonis. Yaitu harmoni lafz
yang ‘bercorak musik’ (yang terbagi dalam bagian-bagian, susunan bagian-bagian
itu harmonis), dan harmoni antara lafz
dengan ‘ide-citra’ (ma’na) yang
sesuai dengannya.
2.4 Fungsi karya satra
1. Karya Sastra sebagai Penghibur Hati
Pembicaraan
tentang fungsi sastra sebagai penenang dan penyembuh (penghibur) terdapat dalam karangan-karangan berbagai genre, yang
dipengaruhi islam secara berbeda-beda juga. Misalnya di dalam hikayat-hikayat
Panji,yang berasal dari Jawa, terutama di dalam Hikayat Cekel Waneng Pati. “Bahwa ini ceritera orang dahulu kal
daripada bahasa Melayu dan Jawa, diceriterakan oleh dalang dan pujangga yang
paramakawi di tanah Jawa dengan bahasa Melayu, maka akan terjadi penghibur
rasa yang dendam dilelakonkan. Dalam itu pun masyghul di mana kan
hilang? Dendam pun tiada berbilang! Akan perinya juga pun dalang katakana akan
pemadam hati yang birahi, maka dalang panjangkan lelakon ini supaya menjadi
lanjut tembang dan kidung dan kekawin segala yang arif bijaksana daripada
menyatakan isyki dalam kalbu: hendak pun dikeluarkannya yang ada dalam hatinya,
tiadakan dating kebajikan padanya; oleh karena itulah maka dikarang hikayat
ini…”(Winstedt, 1991:40)
Begitulah
ciri-ciri terpenting konsep Melayu tentang sastra sebagai penghibur hati, yang sesuai dengan pemahaman fungsi ini, yang
berdasarkan teori psikoterapi, dalam sastra bangsa-bangsa Islam pada umumnya.
2. Karya Sastra sebagai Pembawa Faedah
Bersama dengan
fungsinya yang ‘menghibur’, satu fungsi karya sastra lagi yang sering
disebut-sebut dalam kata pengantar, ialah faedah
atau manfaat. Misalnya dalam
memuji sifat-sifat baik dari Hikayat
Bayan Budiman, dalam kata pengantarnya pengarang menulis sebagai berikut:
“Ini hikayat
ceritera burung bayan budiman lagi amat indah-indahnya karangan ceriteranya dan
member manfaat pada segala orang yang
mendengarnya”(Ronkel, 1909:83).
Manifestasi
fungsi ini berbeda-beda. Yang paling bagus, barangkali, manifestasi-manifestasi
itu dilukiskan dalam Hikayat Isma Yatim,
Hikayat Syah Mardan dan Taj
as-Salatin. Pada hikayat yang pertama tertulis sebagai berikut :
”Ketahuilah
olehmu, hai segala mereka itu yang membaca hikayat ini, yang empat perkara faedah dalamnya. Pertama,
jikalau ada turut seperti kata dalamnya hikayat, isyarat namanya; dan kedua, jikalau berkata-kata di hadapan majelis
maka disebutkan dengan riwayat ini, ibarat
namanya; ketiganya perkara, jikalau ditanya oleh segala raja-raja pada hal kata
yang musykil, maka berdatang sembah, “Ya tuanku Syah Alam, demikian patik
dengar di dalam hikayat”, ceritera namanya; dan keempat
perkara, jikalau didengar oleh segala orang yang masyghul menjadi suka hatinya,
hikayat namanya. Demikianlah hendak
diketahui kebajikannya oleh segala orang yang membaca ini, maka arif
namanya”(Roorda van Eysinga, 1821:1).
Kutipan di atas
memperlihatkan, bahwa faedah/manfaat dipahami sebagai
aspek didaktis dari isi karangan yang tersembunyi di dalam struktur-dalam, yang
harus menjadi pusat perhatian pembaca. Pengertian terhadap struktur dalam
inilah yang menjanjikan berbagai-bagai manfaat yang bersifat intelektual dan
tingkah-laku, termasuk kesempurnaan bertutur-kata.
Dengan
demikian, faedah/manfaat dihubungkan dengan konsep-konsep psikologis yang
bertaraf lebih luhur; akal (dalam aspeknya yang teoretis
dan praktis, khususnya yang praktis), dan hati nurani (pengetahuan tentang
‘ilmu Allah’ yang membawa kepada kesempurnaan rohani). Kesempurnaan jiwa
(pengetahuan tentang “permainan orang muda-muda”, penghibur hati) yang
dihubungkan dengan pengertian tentang indah selalu menduduki tempat terakhir
pada daftar-daftar faedah. Pengaruh keindahan atas jiwa biasanya dianggap sebagai faedah
dari jenis yang rendah, atau bahkan sebagai lawan terhadap faedah
itu sendiri. Keindahan hanya mengasumsikan kedudukan lebih tinggi, apabila
berhubungan dengan faedah-faedah dari tingkatan hierarkis yang lebih tinggi, dan
menjadi seolah-olah “bidang pengucapan” bagi faedah-faedah itu.
2.5 Definisi Sastra
Sastra
merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti
"teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata
dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran".
Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada
"kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada
semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Kata
sastra berasal dari bahasa Sansekerta dengan akar kata sas yang berarti
mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi ; dan kata tra yang
berarti alat atau sarana. Kata sastra dikombinasikan dengan kata su yang
berarti baik, Jadi secara leksikal susastra berarti kumpulan alat untuk
mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Teeuw dalam Ratna, 2005
: 4).Filsuf Horatius mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra haruslah dulce,
utile, prodesse et delectare (indah, berguna, manfaat, dan nikmat). Oleh
karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain pada isinya,
lokus keindahan sastra terletak pada bahasa.
Dalam
sebuah karya sastra, bahasa yang dipakai terasa berbeda dengan bahasa
sehari-hari, karena telah disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi dan
defamiliarisasi ; karena adanya kata-kata yang aneh, berbeda, atau asing (ostranenie)
; juga karena adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan
“mempermainkan” bahasa (licentia poetica). Bahasa dalam sastra dikenal
penuh dengan ambiguitas dan homonim, serta kategori-kategori yang tidak
beraturan dan irrasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu
pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya.
Dalam
bahasa sastra sangat dipentingkan tanda, simbolisme, dan suara dari kata-kata.
Bahasa sastra bersifat konotatif dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif
untuk menunjukkan nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra
berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca
(Welleck & Warren, 1990 : 15). Karya sastra merupakan rekonstrusi yang
harus dipahami dengan memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia
melalui energi kata-kata. Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda
dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa
mengikat keseluruhan aspek kehidupan, untuk kemudian disajikan dengan cara yang
khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna.
Lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna, 2005
: 16).
Hakikat
sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu dikaitkan
dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam sastra
adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke dalam
teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata yang bukan dunia sesungguhnya, namun
dunia yang ‘mungkin’ada. Walaupun berbicara dengan acuan dunia fiksi, namun
menurut Max Eastman, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar
karya sastra, yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama
sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam
kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya
sudah diketahui (Welleck & Warren, 1990 : 30-31).
Selain bercirikan keindahan, sebuah karya
sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra
bagi manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling
mengisi. Kesenangan yang diperoleh melaluipembacaan karya sastra bukanlah
kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan
kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah
keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi.
Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan
penulisnya dari tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri
dari emosi itu, sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck
& Warren, 1990 : 34-35). Jadi, sastra berfungsi untuk meningkatkan kehidupan.
Fungsi yang sama juga diemban oleh kebudayaan.
Yang dimaksud dengan kebudayaan menurut Marvin Haris adalah seluruh aspek
kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar,
termasuk pikiran dan tingkah laku (Haris dalam Ratna, 2005 : 5). Dari definisi
tersebut terlihat bahwa kebudayaan mengkaji aktivitas manusia, sebuah wilayah
kajian yang juga dimiliki oleh sastra. Dapat dikatakan bahwa sastra adalah
salah satu aspek kebudayaan yang memegang peranan penting, sehingga sastra terlibat
dalam kebudayaan.
Hakikat sastra dan kebudayaan adalah hakikat
fiksi dan fakta. Karya sastra dibangun atas dasar rekaan, dienergisasikan oleh
imajinasi, sehingga dapat mengevokasikan kenyataan-kenyataan, sedangkan
kebudayaan memberi isi, sehingga kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat
dipahami secara komprehensif. Sastra dan kebudayaan berbicara mengenai
aktivitas manusia. Sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas sebagai
kemampuan emosional, sedangkan kebudayaan melalui kemampuan akal, sebagai
kemampuan intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam melalui akal, melalui
teknologi. Sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan. Sastra
membangun alam, membangun dunia baru sebagai dunia dalam kata.
Sastra dan kebudayaan untuk pencerahan akal
budi manusia untuk meningkatkan kehidupan. Sastra dan kebudayaan kemudian
menjadi bahan kajian dalam cultural
studies (studi kultural).
Karya sastra merupakan objek studi kultural yang kaya akan nilai. Selain itu,
karya sastra juga dinilai sebagai rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan. Studi
kultural memahami karya sastra dalam kaitan sebagaimana adanya, dengan
memanfaatkan petunjuk yang ada dalam teks sebagai hakikat pluralitas. Saat ini teori yang dianggap paling kuat untuk menganalisis hubungan
antara sastra dan kebudayaan adalah teori postrukturalisme.
Teori ini memberikan warna baru yang lebih
kompleks bagi kajian sastra. Paradigma postrukturalisme memberikan perhatian
kepada pembaca dengan konsepnya tentang kematian pengarang. Karya sastra dianggap
memiliki ruang-ruang kosong, tempat para pembaca memberikan penafsirannya.
Karya sastra menjadi berisi, setelah ruang kosong tersebut diisi oleh
penafsiran pembaca. Semakin banyak ruang kosong tersebut, maka semakin banyak
kesempatan pembaca untuk berdialog dengan penulis. Makna suatu karya sastra
dapat berubah-ubah tergantung pada pembacanya. Setiap pembaca dapat memberikan
penafsiran yang berbeda-beda.
Di sinilah letak kekayaan makna suatu karya
sastra. Karya sastra pun dikatakan bersifat terbuka, karena tema, latar, tokoh,
plot, dan keseluruhan penafsiran merupakan sistem yang terbuka, berubah sesuai
dengan situasi dan kondisi pembaca. Setiap aktivitas pemahaman melahirkan makna
yang baru sebab tidak ada wacana yang pertama maupun terkahir, setiap wacana
merayakan kelahirannya (Todorov dalam Ratna, 2005 : 145).
RagamSastra
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a)
Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak
terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi
b)
Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan
padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan
tertentu, yaitu:
(1) jumlah
baris tiap-tiap baitnya
(2) jumlah suku kata atau kata dalam
tiap-tiap kalimat atau barisnya
(3) irama
(4) persamaan bunyi kata.
c) Prosa
liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan
bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d)
Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas
dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua
pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a) Epik,
karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan
perasaan pribadi pengarang.
b)
Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c)
Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah
moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d)
Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau
buruk)dengan pelukisan yang berlebih-lebihan.
3. Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a)
Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama
dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi :
(1)
Kesusastraan zaman purba
(2) Kesusastraan zaman Hindu Budha
(3) Kesusastraan zaman Islam
(4) Kesusastraan zaman Arab –
Melayu.
b)
Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi. Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :
(1) Hikayat
Abdullah
(2) Syair
Singapura Dimakan Api
(3) Kisah Pelayaran Abdullah ke
Negeri Jeddah
(4) Syair Abdul Muluk, dll.
c)
Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru
Indonesia. Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :
(1) Balai
Pustaka / Angkatan ‘20
(2) Pujangga Baru / Angkatan ’30
(3) Jepang
(4) Angkatan ‘45
(5) Angkatan ‘66
(6)Mutakhir/Kesusastraan setelah
tahun 1966 sampai sekarang
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari uraian di atas, dapat diperoleh beberapa
kesimpulan, antara lain:
1. Istilah
“estetik” ini berasal dari istilah dalam Bahasa Yunani kuno yaitu aesthesis,
yang pengertiannya adalah “persepsi rasa” (sense perception). Dalam kebudayaan
Yunani, persepsi rasa ini merupakan bagian dari dunia filsafat dan bisa
diartikan sebagai “pikiran yang muncul dari rasa” (tidak absolut), dibedakan
dari pikiran yang muncul dari logika (cenderung absolut).
2. Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta dengan
akar kata sas yang berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk
dan instruksi ; dan kata tra yang berarti alat atau sarana. Kata sastra
dikombinasikan dengan kata su yang berarti baik, Jadi secara leksikal
susastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku
pengajaran yang baik.
3.2 Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini
pembaca mendapatkan wawasan tentang konsep keindahan dalam sastra melayu. Dan penulis berharap semoga sastra melayu
bisa berkembang di Indonesia Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan penulis juga mohon maaf apabila di
dalam makalah ini terdapat kesalahan dan kesilapan. Atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Braginsky,
V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Dalam Melayu dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS
0 komentar:
Posting Komentar