Pantun dan Seloka


PANTUN DAN SELOKA

A. Pantun
1. Pengertian
Pantun adalah bentuk puisi yang terdiri atas empat baris yang bersajak bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya, tiap baris terdiri atas empat perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), sedangkan dua baris berikutnya disebut isi pantun (www.melayuonline.com 23 September 2008).
Dalam wikipedia dijelaskan bahwa pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun bersajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak boleh a-a-a-a, a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pengertian yang sama disampaikan oleh (Mulyana, 1997) pantun merupakan ragam puisi lama, satu bait terdiri atas empat larik dengan berirama akhir ab-ab.
Jumlah pantun empat larik merupakan jumlah pantun yang lazim. Meskipun demikian dalam variannya pantun senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan. Sehingga kita kenal juga adanya pantun singkat/ karmina, pantun enam baris, pantun delapan baris, pantun sepuluh baris, dan pantun dua belas baris.
Pantun adalah puisi asli Indonesia. Hampir di semua daerah di Indonesia terdapat tradisi berpantun. Pantun tepat untuk suasana tertentu. Pantun digunakan biasanya untuk menimbulkan suasana akrab (Waluyo, 1995: 8). Dalam bahasa Jawa, pantun dikenal sebagai parikan dan dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan. Namun begitu, pantun juga dikenal oleh masyarakat lain di luar Indonesia di seluruh usantara. Untuk itu penulis lebih cenderung mengatakan bahwa pantun merupakan puisi asli nusantara (termasuk Indonesia).
Menurut (Waluyo, 1995: 8) pantun  merupakan jenis puisi lama yang paling terkenal disamping syair. Jenis puisi lama selain pantun dan syair itu mempunyai struktur dan prinsip yang yang sama dengannya. Pantun juga memiliki ikatan yang kuat mengenai tipografinya. Struktur tematik atau makna dikemukakan menurut aturan jenis pantun. Ikatan yang memberikan keindahan dalam struktur kebahasaan dalam pantun, berupa:
  1. jumlah suku kata setiap baris
  2. jumlah baris setiap bait
  3. jumlah bait setiap pantun
  4. aturan dalam hal rima dan ritma.

Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari, pantun merupakan jenis sastra lisan yang paling populer. Penggunaannya hampir merata di setiap kalangan: tua-muda, laki-laki-perempuan, kaya miskin, pejabat-rakyat biasa dst. Dalam (www.pnm.my 23 September 2008) dijelaskan pantun merupakan puisi tradisi Melayu yang di dalamnya terserlah kehalusan budi dan ketajaman fikiran.
Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.

 

2. Komposisi Pantun

Lebih lanjut dalam dalam wikipedia dijelaskan bahwa semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Ada dua pendapat mengenai hubungan antara sampiran dan isi pantun. Pendapat pertama dikemukakan oleh H.C. Klinkert (dalam melayuonline.com) pada tahun 1868 yang menyebutkan bahwa, antara sampiran dan isi terdapat hubungan makna. Pendapat ini dipertegas kembali oleh Pijnappel pada tahun 1883 yang mengatakan bahwa, hubungan antara keduanya bukan hanya dalam tataran makna, tapi juga bunyi. Bisa dikatakan jika sampiran sebenarnya membayangkan isi pantun. Pendapat ini dibantah oleh van Ophuysen yag mengatakan bahwa, sia-sia mencari hubungan antara sampiran dan isi pantun. Menurutnya, yang muncul pertama kali dibenak seseorang adalah isi, baru kemudian dicari sampirannya agar bersajak. Dalam perkembangannya, Hooykas kemudian memadukan dua pendapat ini dengan mengatakan bahwa, pada pantun yang baik, terdapat hubungan makna tersembunyi dalam sampiran, sedangkan pada pantun yang kurang baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan persamaan bunyi. Pendapat Hooykas ini sejalan dengan pendapat Dr. (HC) Tenas Effendy yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun sempurna/penuh, dan pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun tak penuh/tak sempurna. Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna yang dalam (berisi), maka kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi sampiran.” (www.melayuonline/pantun 23 september 2008)
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana dalam wikipedia.com fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan.
Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi terkadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-5 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.
Wikipedia.com (23 September 2008)

3. Klasifikasi pantun
Dalam praktiknya, pantun diklasifikasi ke dalam beberapa jenis yaitu: Pantun Nasihat, Pantun Berkasih Sayang, Pantun Suasana Hati, Pantun Pembangkit Semangat, Pantun Kerendahan Hati, Pantun Pujian, Pantun Teka-teki, Pantun Terhadap Perempuan, dan Pantun Jenaka (www.wikipedia.com 23 September 2008)

4. Peran pantun

Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain.
Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Seringkali bercampur dengan bahasa-bahasa lain. Berikut contoh pantun (sebetulnya adalah karmina) dari kalangan pemuda:
Mawar merah tumbuh di dinding
Jangan marah, just kidding
Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.
Fungsi pantun
Pantun berfungsi sebagai bentuk interaksi yang saling berbalas, baik itu dilakukan pada situasi formal maupun informal. Pantun pada masyarakat Melayu mengalir berdasarkan tema apa yang tengah diperbincangkan. Ketika seseorang mulai memberikan pantun, maka rekan lainnya berbalas dengan tetap menjaga tali perbincangan. Dalam interaksi pantun berbalas ini berlatar belakang pada situasi formal maupun situasi informal. Pada situasi formal semisal ketika meminang atau juga membuka sebuah pidato, sedangkan pada situasi informal seperti perbincangan antar rekan sebaya.
Pantun adalah genre sastra tradisional yang paling dinamis, karena dapat digunakan pada situasi apapun. Sebagaimana dikatakan bahwa: 
“Di mana orang berkampung disana pantun bersambung. Di mana ada nikah kawin disana pantun dijalin. Di mana orang berunding di sana pantun bergandeng. Dimana orang bermufakat di sana pantun diangkat. Di mana ada adat dibilang, di sana pantun diulang. Di mana adat di bahas di sana pantun dilepas”.
Karena itu tidak pandang latar belakang apapun, pantun dapat digunakan baik untuk anak-anak, orang muda maupun orang tua. (melayuonline.com/pantun 23 September 2008)

5. Struktur Pantun
Berdasarkan struktur dan persyaratannya, pantun dapat terbagi ke dalam pantun biasa, pantun kilat atau karmina, dan pantun terkait.
Pantun biasa adalah pantun seperti kita kenal lazimnya. Isinya ialah curahan perasaan, sindiran, nasihat, dan peribahasa.
Pantun kilat/ karmina adalah pantun yang hanya terdiri dari dua larik saja tiap barisnya. Sedangkan syarat-syarat lain sama dengan pantun biasa. Sampiran dan isi terletak pada larik pertama dan kedua.
Ada ubi ada talas
Ada budi ada balas
Pantun berkait (biasa disebut pantun berantai) adalah pantun yang sambung bersambung antara bait satu dengan bait berikutnya. Dengan catatan larik kedua dan keempat setiap baris pantun akan muncul kembali pada larik pertama dan ketiga pantun berikutnya (Mulyana, 1997: )
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).
Penjelasan lain yang berbeda dalam (www.pantun.usm.my 23 September 2008) bahwa bentuk pantun (khususnya p;antun Melayu) terbaagi kepada rangkap pantun dua baris/kerat, empat baris/kerat, enam baris/kerat, delapan baris/kerat, dua belas baris/kerat dan tiga puluh baris/kerat. Rima pantun pula tersusun dalam bentuk yang tetap seperti ab/ab atau abc/abc dan seterusnya. Walau bagaimanapun, penciptaan pantun di Alam Melayu memperlihatkan pelbagai ciri kreativiti masyarakat setempat hingga melahirkan beberapa ciri kelonggaran dalam bentuk dan rima pantun yang dihasilkan.
Berikut contoh pantun
Pantun Empat Baris
Pulau Pandan jauh ke tengah,
Gunung Daik bercabang tiga;
Hancur badan dikandung tanah,
Budi yang baik dikenang juga.

Pantun Enam Baris
Apa didapat orang memburu,
Dapat rusa jantan betina,
Sedang bersembunyi di celah batu;
Bila mendapat bunga yang baru,
Bunga yang lama tiada berguna,
Adat dunia sudah begitu.
[Petikan daripada Kumpulan Pantun Melayu susunan Zainal Abidin Bakar, Dewan Bahasa Dan Pustaka, Malaysia, 1991: hal. 319]
Pantun Lapan Baris
Rumpun rotan di kota alam,
Ditebang dibelah empat,
Tumbuh serumpun di seberang,
Selasih muara sungai;
Penglihatan usah diperdalam,
Pandang nan usah dipertepat,
Adik di dalam tangan orang,
Maksud rasa tak akan sampai.
[Petikan daripada Pantun Melayu, Balai Pustaka, 1958, halaman 68]

Pantun Dua Belas Baris
Anak jintayu dari hulu,
Disambar ombak Laut Cina,
Dibawa terbang ke perahu,
Hinggap minum ke muara,
Anak ikan berkeliaran;
Kamilah tahu dari dahulu,
Adik jauhari bijaksana,
Membuhul tidak membeku,
Mengulas tidak mengesan,
Meratap langit dengan bicara,
Bumi tidak ketirisan.
[Petikan daripada Puisi Melayu Tradisi susunan Mohd. Yusof Md. Nor dan Abd. Rahman Kaeh, Penerbit Fajar Bakti, Malaysia, 1985, halaman 20]

Pantun Berkait
Angsana berpucuk di atas batu,
Pucuk digangsa beribu-ribuan;
Ada bunga di naung batu,
Kuntumnya kaca tangkainya embun.
Pucuk digangsa beribu-ribuan,
Kembang diuca balik beroleh;
Kuntumnya kaca tangkainya embun,
Dipandang sahaja diambil tak boleh.

Kembang diuca balik beroleh,
Tambang garam di dalam sekoci;
Dipandang sahaja diambil tak boleh,
Bertambah geram di dalam hati.
[Petikan daripada Warisan Puisi Melayu susunan Mohd. Taib Osman, Dewan Bahasa Dan Pustaka, Malaysia, 1975, halaman 28]
(www.Pantun.usm.my 23 September 2008)

B. Seloka

1. Pengertian
Kata seloka berasal dari bahasa sansakerta cloka, yaitu suatu bentuk puisi Hindu yang terdapat dalam kitab-kitab kesusasteraan India, seperti Ramayana dan Mahabarata.
Dari segi bentuk seloka sama seperti gurindam, talibun, teromba, dan mantra. Akan tetapi dari segi isi, seloka mengandung maksud mengejek, menyindir sama ada serius atau jenaka, atau mungkin mengandung perasaan-perasaan berahi, asyik, khayal, dan mimpi.
Seloka memperlihatkan hubungan yang erat dengan peribahasa. Dalam beberapa keadaan kelihatan seolah-olah bentuk seloka sama dengan peribahasa berirama, tetapi seloka  lebih merupakan susunan ungkapan-ungkapan yang sejajar, sebahagian dipetik dari suatu cerita yang telah benar-benar dikenlai dalam masyarakat Melayu seperti Pak Kaduk, Lebai Malang, dan Mak Si Randang.

Pendapat para ahli
a. Dr. C Hooykaas (dalam Nursisto, 2000:21)
Seloka ialah pantun yang bersajak sama, seperti sajak syair (a-a-a-a)

Ada suatu burung Merak
Lehernya panjang suaranya serak
Tuan umpama emas dan perak
Hati yang mana boleh bertolak

Namun agak berbeda dengan yang dikutip oleh Surana (2001,35). Di sini Hooykaas mengatakan seloka ialah pantun yang mengnadung kiasan atau ibarat. Bentuk pantun ini berupa puisi 4 seuntai dan berirama aaaa.
Contoh:
Sudah bertudung beranak bintan
Dengan siapa saya sesalkan
Sudah untung peminta badan
Pagar siapa saya sesarkan?  

b. Simorangkir-Simanjuntak
Dalam kitab Kesusasteraan Indonesia dibedakan antara seloka dan pantun seloka. Menurut pendapat mereka tidka lain adalah bidal atau pepatah yang berirama.

Ayam hitam terbang malam
Hinggap ke rimba dalam
Bertali ijuk bertandang tanduk
Ayam putih terbang siang
Hinggap di kayu meranggas
Bertali benang bertambang tulang

Pantun seloka ialah bidal bersampiran, atau pantun yang isinya terdiri atas pepatah atau bidal.

Setali pembeli kemenyan
Sekupang pembeli ketaya
Sekali lancung ke ujian
Seumur hidup tak percaya

c. Madong Lubis
Dalam keindahan bahasa, ia menerangkan bahwa seloka atau pantun seloka tidak lain adalah pantun rantai atau pantun berkait. Pantun rantai mempunyai beberapa bait yang saling berhubungan. Baris kedua pada bait pertama menjadi baris pertama pada bait berikutnya; sedangkan bait keempat pada bait pertama menjadi bait ketiga bait selanjutnya.


d. Sabaruddin Ahmad
Dalam seluk beluk bahasa Indonesia, ia menyatakan bahwa seloka ialah pantun berangkai (sama dengan keterangan Madong Lubis).
e. Sutan Moh. Zain
Dalam zaman baru, ia menerangkan bahwa seloka boleh terdiri atas dua baris, 4 baris, 6 baris, atau lebih. Seloka yang jumlah barisnya lebih dari dua, bersajak pasangan (aa, bb, cc, dd, dan seterusnya). Semua kalimatnya mengandung arti (masing-masing mempunyai hubungan logis) seperti halnya syair.
f. Amir Hamzah,
Seloka ialah pantun yang antara sampiran dan isinya mempunyai hubungan arti, misalnya:
Jalan-jalan ke kampung dalam
singgah-menyinggah di pagar orang
pura-pura mencari ayam
ekor mata di anak orang

2. Fungsi seloka
Fungsi seloka amat terbatas. Ia tidak luas digunakan seperti peribahasa atau teromba. Tema dan isinya secara umum merupakan sindiran, ejekan, atau cetusan perasaan; kagum atau benci terhadap seseorang atau perlakuannya. Bagaimanapun, ejekan dan jenaka yang dikemukakan itu merupakan pengajaran dan panduan.

3. Ciri-ciri seloka asli India
  1. tiap-tiap bait terdiri atas 2 baris
  2. tiap-tiap baris terdiri atas 16 suku kata dan merupakan dua potongan kalimat, jadi dalam setiap baris ada 2x8 suku kata
  3. biasanya berisi pelajaran atau petuah berhikamat
  4. isi bait yang satu dengan berikutnya saling berhubungan
  5. tidak terikat oleh sajak akhir

Daftar Pustaka

J. Waluyo, Herman. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Erlangga: Surakarta.
Mulyana, Yoyo dkk. 1997. Sanggar Sastra. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: jakarta.
Nursisto. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia.Yogyakarta. AdiCita.
Surana. 2001. Pengantar Sastra Indonesia. Solo. PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
www.melayuonline.com (23 September 2008)
www.pantun.usm.my (23September 2008)
www.wikipedia.com (23 September 2008)

0 komentar:

Posting Komentar