Bunyi dalam Puisi Karya Sutardji Calzoum Bahri
2.1 Pengertian Bunyi
Dalam puisi, bunyi bersifat estetik, merupakan
unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat
hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu, melodi, irama dan
sebagainya.
Menurut kamus istilah sastra (Laelasari,2006:58)
Bunyi merupakan nada, laras, suara yang ditangkap atau diterima oleh alat
indera, terutama alat-alat bicara.
Contoh:
Batu Belah
Rang....rang....rangkup
Rang....rang....rangkap
Batu belah batu
bertangkup
Ngeri berbuni
berganda kali
(Amir
Hamzah)
2.2 Unsur-Unsur Bunyi
Ada tiga ciri umum puisi, yang pertama
adalah pola bunyi atau rima. Rima adalah penataan unsur bunyi yang ada dalam
kata. Penataan ini berupa pengulangan bunyi yang sama pada
satuan baris atau pada baris-baris berikutnya dalam bait. Contohnya puisi lama seperti pantun dan syair,
pola bunyi sifatnya tetap. Contohnya pantun berima ab-ab dan syair berima
aa-aa. Yang kedua adalah irama.
Irama terlihat sangat jelas saat puisi dibacakan. Intonasi, penekanan kata,
tempo, dan penataan rima memunculkan irama puisi. Yang ketiga
adalah pilihan
kata atau diksi. Kata-kata pilihan berfungsi untuk menyampaikan makna puisi.
Kata-kata juga dipilih
berdasarkan efek bunyi yang ditimbulkan jika dibacakan. Kata-kata yang dipilih
dapat berupa kata-kata yang objektif maupun emotif.
Menurut Hasanuddin
(2002:56) terdapat berbagai beberapa unsur bunyi:
1. Irama
Irama merupakan bunyi yang
teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan
suasana. Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta didalam sajak dengan
pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tecipta. Suasana melankolis akan menyebabkan tempo
lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan
dinamik tinggi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa irama terbagi atas dua
bagian: Ritme dan Metrum.
Metrum adalah irama yang
tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan Ritme adalah irama yang
disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara
teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan halnya menjadi
gema, dendang penyair (Semi 1984:109).
2. Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan Efoni adalah
pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan didalam
sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah atau sebaliknya, suatu kesan
keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak
melalui suasana yang melingkupinya. Menurut Pradopo (2007:27) menyatakan bahwa
kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni sedangkan kombinasi
bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, ini disebut Kakafoni. Kakafoni ini cocok dan dapat untuk
memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serta tak teratur
bahkan memuakkan.
3. Onomatope
Onomatope salah satu
pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak. Istilah Onomatope menurut
Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984:54) adalah Penggunaan kata yang mirip
dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang. Istilah
lain untuk onomatope ini adalah tiruan bunyi.
Contoh : “desau angin”, “ngiaau”, “cicit”
4. Aliterasi
Pemanfaatan bunyi dengan cara lain dapat
pula dilakukan, yaitu dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi
itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama
disebut aliterasi. pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi
aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan.
Istilah Aliterasi menurut Kamus Istilah
Sastra (Laelasari, 2006:23) adalah majas perulangan yang memanfaatkan kata-kata
yang bunyi awalnya sama; sajak awal (untuk
mendapatkan efek kesedapatan bunyi); pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata
yang berurutan.
5. Asonansi
Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi
secara berulang –ulang dalam satu baris sajak. Menurut kamus istilah sastra laelasari
(2006:45) Asonansi merupakan perulangan bunyi vokal dalam deretan kata;
Purwakanti
Contoh:
Dalam
tupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
(Amir
hamzah)
6. Anafora dan epifora
Satu lagi cara memanfaatkan bunyi didalam
sajak guna menimbulkan unsur kepuitisan disebut Anafora dan Epifora. Pengulangan
bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut Anafora, sedangkan
yang disebut Epifora adalah pengilangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada
akhir-akhir larik saja. karena adanya persamaan bentuk yang diulang maka
sekaligus pengulangan itu menyangkut pengulangan bunyi yang sama.
Menurut Kamus Istilah Sastra Laelasari (2006:31)
Anafora pengulangan bunyi pada kata struktur sintaksis yang terdapat pada
larik-larik atau kalimat-kalimat yang berurutan dengan tujuan untuk memperoleh
efek tertentu; penunjukkan kembali pada suatu anteseden yang ditandai dengan
pengulangan atau substitusi gramatika; pengulangan sebuah kata atau lebih pada
awal beberapa larik sajak atau kalimat yang berturut-turut dengan maksud
mencapai efek kesedapan bahasa atau keefektifan bahasa.
Contoh:
SONET
X
siapa menggores di
langit biru
siapa meretas di awan
lalu
siapa mengkristal di
kabut itu
siapa mengertap di
bunga layu
siapa cerna di warna
ungu
siapa bernafas di
detak waktu
siapa berkelebat
setiap kubuka pintu
siapa mencair di
bawah pandanganku
siapa terucap di
celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang
sepiku
siapa tiba
menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak
cadarku
siapa meledak dalam
diriku
siapa Aku
( Sapardi Djoko Damono:1968)
Sedangkan
Epifora adalah pengulang sebuah kata atau lebih pada akhir beberapa larik sajak
atau pada akhir beberapa frase yang berurutan untuk mencapai kesedapan bunyi atau
keefektifan bahasa; pengulangan kata-kata untuk penegasan dalam puisi.
Menurut Waluyo (1995:90) Bunyi terbagi menjadi:
1. Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk
membentuk musikalitas. dengan pengulangan bunyi itu,puisi menjadi merdu jika
dibaca. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, intonasi,
repetisi bunyi, dan persamaan bunyi. Menurut Kamus Istilah Sastra (Laelasari, 2006:213)
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi yang berfungsi untuk membentuk musikalisasi
atau orkestrasi. Dengan adanya rima itulah, efek bunyi, makna yang dikehendaki
penyair semakin indah dan makna yang ditimbulkannyapun lebih kuat; pengulangan
bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun akhir larik sajak yang
berdekatan.
Contoh:
Hampa
Sepi di luar sepi menekan mendesak
Lurus kaku pepohonan tak bergerak
Sampai ke puncak sepi memangut
Tak satu kuasa melepas renggut
(Chairil
Anwar)
2. Ritma
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan
juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma puisi
berbeda dari metrum (matra). Metrum berupa pengulangan kata yang tetap. metrum
sifatnya statis. Ritma berasal dari bahasa yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus,
dan tidak putus-putus ( mengalir terus).
Peranan Bunyi dalam Sajak
Bunyi dalam sajak memegang
peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur
kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam
sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi- bunyi berperan
menentukan makna, maka didalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan
makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di
dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi
begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada
unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi
di dalam puisi tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat
diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat
puisi ketika berhadapan dengan puisi yang diciptakannya. Dengan demikian,
sugesti di dalam diri pembaca dan penikmat puisi juga tidak akan muncul.
Bunyi dalam Puisi Karya Sutardji Calzoum
Bahri
Keharuan yang indah, itulah yang kiranya
dapat kita temui pada beberapa puisi Sutardji Calzoum Bachri. Maka lukisan luka yang kita temui dalam
sajak-sajaknya pun sungguh membawa kita pada suatu keharuan yang indah, suatu
tragedi. Suatu lukisan yang digoreskan melalui mantera, itulah kedalaman makna
yang dicapai oleh seorang manusia yang biasa dipanggil Tardji itu. Membaca
sajak-sajaknya adalah suatu pengalaman menuju suatu tanah mistis.
Sajak-sajaknya adalah lukisan luka yang membawa kita pada suatu pencapaian
ekstase. Hal ini mungkin kedengaran terlalu mengada-ngada. Tapi untuk lebih
memahami mengenai lukisan luka ini, ada baiknya kita mencoba belajar membaca puisi-puisi
Sutardji melalui salah satu puisi, yang merupakan karya puncaknya, yaitu
“Belajar Membaca”. Puisi yang ditulis tahun 1979 itu lengkapnya berbunyi:
BELAJAR MEMBACA
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
(dikutip dari O AMUK KAPAK, 2002: 109)
Puisi “Belajar
Membaca” bukanlah sekedar mantera. Ia bukan pula sekedar permainan bunyi, bukan
sekedar menata kesejajaran atau kontras antara konsonan l dan k serta vokal a,
i, dan u. Ia juga bukan sekedar kombinasi kata luka, kaku, kaki, kau, aku,
kalau, dan akhiran kah hanya demi membentuk dunia bunyi dan makna yang unik. Ia
juga bukan sekedar menyarankan semacam keinginan untuk berbagi pengalaman dalam
luka, dalam penderitaan. puisi “Belajar Membaca” adalah suatu lukisan yang
menyeru-nyeru panggilan mistis. Panggilan ini membangkitkan kembali suatu
gambaran mengenai purba dari ritual pemujaan dewa kemabukan dan mimpi. Cobalah
baca puisi“Belajar Membaca”, pandanglah dan sekaligus lisankan, maka kita akan
mendapati suatu rupa yang sedap dipandang sekaligus bunyi yang sedap didengar.
Dengan kredonya
tardji melepaskan kata-kata dalam puisi-puisinya melompat-lompat, menari-nari
bebas mencari dan menemukan maknanya sendiri. hal itu dapat kita simak dalam
puisi berikut:
Sepisaupi
Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Sajak sutardji diatas menunjukkan penggunaan
aliterasi yang dimanfaatkan sedominan mungkin. akibatnya, muncul unsur irama
dan musikalitas. unsur musikalitas dari sajak tersebut ternyata mampu memancing
dan menciptakan sugesti bagi pembaca untuk menyatu dengan puisi tersebut.
Aliterasi pada sajak diatas persamaan serta pengulangan bunyi/ s/ pada awal
kata setiap barisnya.
Menariknya, Sutardji tidak hanya menampilkan suatu kesan luka yang melulu pedih dan perih, seakan-akan luka hanya membawa tragedi di atas muka bumi ini. Ada kalanya ia justru ia menulis sajak yang menghadirkan kesan komedi mengenai luka tadi. Dalam salah satu sajak berjudul “Luka” yang dibuatnya tahun 1976, lengkapnya ia menulis:
Menariknya, Sutardji tidak hanya menampilkan suatu kesan luka yang melulu pedih dan perih, seakan-akan luka hanya membawa tragedi di atas muka bumi ini. Ada kalanya ia justru ia menulis sajak yang menghadirkan kesan komedi mengenai luka tadi. Dalam salah satu sajak berjudul “Luka” yang dibuatnya tahun 1976, lengkapnya ia menulis:
LUKA
ha ha
(O AMUK KAPAK, 2002: 78)
Mengenai luka yang kerap muncul dalam
sajak-sajaknya, kiranya Sutardji sudah menjelaskannya secara tidak langsung
ketika ia mengutip perkataan orang Spanyol: El poeta habla de la boca de la
herida, penyair bicara dari mulut luka (SCB, 2001:22). Hal ini tidak
mengherankan kita, sebab penyair memang ditantang untuk menghadirkan suatu
keharuan. Alasannya, timbulnya keharuan sudah lama dianggap sebagai ukuran
keindahan suatu sajak. Sajak dan tiap hasil seni harus sanggup memindahkan harus
asli dari pada penyair/seniman, baik rasa duka maupun haru keindahan saja, Maka
tak mengherankan pula apabila para pembaca pun juga sering mengejar keharuan
ketika membaca suatu sajak.
Unsur yang menonjol dari puisi yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek musikalitasnya. Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi yang sama bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannnya secara teratur. Cara-cara semacam ini mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat puisi untuk bisa sampai pada suasana haru. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, khususnya sebagian dari sajak-sajak awalnya memanfatkan unsur bunyi sepenuhnya seperti pada puisi berikut:
Unsur yang menonjol dari puisi yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek musikalitasnya. Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi yang sama bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannnya secara teratur. Cara-cara semacam ini mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat puisi untuk bisa sampai pada suasana haru. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, khususnya sebagian dari sajak-sajak awalnya memanfatkan unsur bunyi sepenuhnya seperti pada puisi berikut:
SHANG HAI
ping di atas pong
pong di atas ping
ping
ping bilang pong
pong
pong bilang ping
mau
pong? bilang ping
mau
mau bilang pong
mau
ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
tak ya ping tak ya pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kamu pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kamu ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakmu merancap nyaring
1973
(Sutardji Calzoum
Bachri, O Amuk Kapak: 84)
Pil
memang
pil seperti pil macam pil walau pil
hanya
pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
meski
pil tapi tak pil apalah pil
pil pil pil mengapa gigil? ku demam pil
bilang
obat jadi barah
apakah pasien?
tempeleng!
1976
(Sutardji
Calzoum Bachri, O Amuk Kapak:91)
Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri diatas diciptakan
dengan cara mempermainkan unsur bunyi. Akibatnya, unsur musikalitas menjadi
dominan pada puisi-puisi tersebut. Dengan memanfaatkan bunyi sepenuhnya, irama
sajak tercipta, dan hal tersebut dapat membantu menciptakan suasana tertentu.
hal itu menyebabkan pembaca atau penikmat berkonsentrasi dan ”meleburkan” diri
kedalam puisi-puisi tersebut. Dengan cara seperti itu, akhirnya daya saran yang
dimiliki sajak akan sampai kepada penikmat atau pembaca.
Selain itu ada juga contoh Sajak Sutardji Calzoum
Bachri:
PARA
PENYAIR
para penyair
jangan biarkan dirimu
berlamalama
di lembahlembah
jangan lama terperangah
pada keanekaragaman tanah
lembah dan lereng
memang disiapkan
agar kalian
mengingat puncak
menantang
meraih
atas
para penyair
jangan biarkan
batinmu
tercengang pulas
tenggelam
di kelembahan badan
ayo
mendaki
taklukkan kelembahanmu
walau pedih tebing-tebing
harus kau atasi kepedihan
meski luka di lembahlembah
atas kedukaan
jangan tenggelam
ingat!
Ibrahim tak suka barang tenggelam
ayo
 mengatas
 meninggi
 sampai tanah menyatu
mengatasi keanekaragaman tanah
sampai langit
tanah
menyatu
mengucap
hakikat
ayo
para mawar
tanggalkan kelopak pongahmu
mendakilah
di puncak
tanah menyibak langit
langit menyibak tanah
tanah mendekap langit
langit memeluk tanah
saling membuka
saling menutup berpelukan
di puncak
segalanya terbuka
dan tersimpan
1987
para penyair
jangan biarkan dirimu
berlamalama
di lembahlembah
jangan lama terperangah
pada keanekaragaman tanah
lembah dan lereng
memang disiapkan
agar kalian
mengingat puncak
menantang
meraih
atas
para penyair
jangan biarkan
batinmu
tercengang pulas
tenggelam
di kelembahan badan
ayo
mendaki
taklukkan kelembahanmu
walau pedih tebing-tebing
harus kau atasi kepedihan
meski luka di lembahlembah
atas kedukaan
jangan tenggelam
ingat!
Ibrahim tak suka barang tenggelam
ayo
 mengatas
 meninggi
 sampai tanah menyatu
mengatasi keanekaragaman tanah
sampai langit
tanah
menyatu
mengucap
hakikat
ayo
para mawar
tanggalkan kelopak pongahmu
mendakilah
di puncak
tanah menyibak langit
langit menyibak tanah
tanah mendekap langit
langit memeluk tanah
saling membuka
saling menutup berpelukan
di puncak
segalanya terbuka
dan tersimpan
1987
Sajak "Para Penyair". Tak banyak, atau bahkan tak ada penyair yang kukuh memposisikan diri seperti Sutardji. Di sajak ini dia mengajak, "ayo (para penyair, mendakilah, taklukkan kelembahanmu..." Orang yang mengajak orang lain untuk menaklukkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, maka bila tidak ingin ditertawakan maka orang itu harus sudah melakukan dan menaklukkan apa yang dia ajakkan itu. Sutardji saya kira sudah sangat menyadari bahwa dia sudah menjalani pendakian-pendakian sendiri, dia sudah taklukkan kelembahannya sendiri. Dia mengajak, karena dia sudah tahu bahwa, "di puncak segalanya terbuka dan tersimpan".
Sutardji juga menyindir - dengan cara halus - para penyair yang berwangi-wangi dengan sajak wangi, "ayo para mawar, tanggalkan kelopak pongahmu, mendakilah!"
Sajak ini masih sanggup memperlihatkan kepiawaian Sutardji menyusun pengucapan yang khas, dan tak terlawankan itu. Ia tawarkan frasa "keanekaragaman tanah", "di kelembahan badan", "tanah menyibak langit", "tangah mendekap langit", "langit memeluk tanah". Frasa-frasa ajaib tapi tidak sekedar kegenitan fesyen bahasa itu saya kira hanya bisa muncul dari penyair yang pernah punya kredo membebaskan kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya. Sutardji memetik apa yang dimungkinkan oleh pembebasannya itu: KREATIVITAS!
Terhadap Sutardji tentu kita bebas pula bersikap. Dia tidak hendak menyumpal telinga kita dengan teriakan-teriakannya. Dia pasti juga tidak hendak mendoktrin kita untuk patuh pada seruan-seruannya. Tapi, ah bagi saya, betapa benarnya ia. Siapapun kita, tak hanya bila kita penyair, kita memang tak harus membiarkan batin kita tercengang pulas tenggelam di kelembahan badan.
Pada
sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna
kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun,
menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi
pantun.
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan ontara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini:
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan ontara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini:
hai Kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itazatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
ku zangga zegezegeze aahh....!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
Dalam sajak ini dua kalimat pertama "Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu" adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.
kuliah sambil kerja, bisnis rumahan, online juga bisa, gunakan gadget anda,,
dan dapatkan penghasilan berjuta-juta,, BISA !!! satu mimpi berjuta kenyataan
liat info disini ya http://www.dbc-network.com/?id=Desipebisnis88,,, atw add pin 2af9013c
8 komentar:
terimakasih,,sangat berguna...
sama-sama ^_^
terimakasih....akhirnya tugas saya bisa lancaarr... ^_^
you're welcome
bagus banget :D
^_^
terima kasihh
kamu dari duri ya
saya dari bagan batu
Posting Komentar