Perbedaan Hasil Kesusastraan Balai Pustaka &Pujangga Baru (makalah)

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Kata “kesusastraan” berasal dari kata “susastra” yang memperoleh konfiks “ke-an”. Dalam hal ini, konfiks “ke-an” mengandung makna tentang atau hal. Kata “susastra” terdiri atas kata dasar “sastra” yang berarti tulisan yang mendapat awalan kehormatan “su” yang berate baik atau indah. Dengan demikian, secara etimologi kata “kesusastraan” berarti pembicaraan tentang berbagai tulisan yang indah bentuknya dan mulia isinya. Keindahan bentuk hasil kesusastraan yang kemudian lazim disebut karya sastra terlihat dari penampilan sosok fisik puisi, prosa, lirik prosa, drama, maupun bentuk karya sastra yang lain.
Pembagian zaman atau periodisasi sastra Indonesia modern sampai saat ini memang masih menjadi tahap perdebatan. Bagaimanapun banyaknya pembabakan waktu yang pernah diajukan dalam sejarah sastra Indonesia, namun pembabakan yang telah umum dipakai selalu kembali pada nama-nama angkatan. Angkatan demi angkatan itu muncul hampir 10 tahun atau 15 tahun sekali. Jadi dapatlah pula kita menamakan angkatan-angkatan itu sebagai generasi berdasarkan usianya. Tiap 10 atau 15 tahun sekali di Indonesia selalu muncul angkatan baru dalam sastra Indonesia. Selama waktu itu pengalaman dan situasi masing-masing generasi rupanya agak berbeda sehingga melahirkan ciri-ciri tersendiri pada angkatannya.
Sastra Balai Pustaka dinamakan karena para sastrawannya menulis melalui badan penerbitan pemerintah kolonial belanda yang bernama demikian, sedangkan sastra Pujangga Baru berdasarkan nama majalah kebudayaan yang terbit tahun 1933 dan melalui majalah inilah para sastrawannya menulis karya-karya mereka.
Masing-masing angkatan sastra dimulai dengan munculnya sekumpulan sastrawan yang tahun kelahirannya hampir sama dan menulis dalam gaya yang hampir sama dalam majalah atau penerbitan yang sama. Sastra Balai Pustaka dimulai tahun1920. Para penulis Balai Pustaka yang mula-mula menulis sekitar tahun 1920-an adalah mereka yang dilahirkan sekitar tahun 1895-an. Ada yang lebih dahulu ada yang lebih kemudian. Sastra Pujangga Baru diisi oleh para sastrawan yang dilahirkan sekitar tahun 1910-an.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, untuk lebih mengetahui kesusastraan angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru, maka kita perlu mengetahui:
1. Bagaimanakah latar belakang, ciri-ciri dan hasil Kesusatraan Balai Pustaka?
2. Bagaimanakah latar belakang, ciri-ciri dan hasil Kesusastraan Pujangga Baru?

1.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan diatas, makalah ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan latar belakang, ciri-ciri dan hasil Kesusatraan Balai Pustaka.
2. Mendeskripsikan latar belakang, ciri-ciri dan hasil Kesustraan Pujangga Baru.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesusastraan Balai Pustaka
2.1.1 Latar Belakang
Sastra Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan. Sastra ini dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda di Indonesia. Sastra ini penuh dengan syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud tertentu, yang akhirnya bermuara bagi kepentingan politik jajahan. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa sastra Balai pustaka bukanlah hasil ekspresi bangsa secara murni. seperti yang dijelaskan oleh Sumardjo (1992:31) bahwa:
Sastra balai pustaka adalah sastra bertendens, yakni sstra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang belanda.

Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Tujuan dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat ialah:
1. Membendung dan memberantas bacaan cabul yang diedarkan oleh penerbit partikelir.
2. Mencegah beredarnya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah penjajah belanda.
3. Menjual buku-buku bacaan dengan harga yang semurah-murahnya, agar penerbit partikelir menjadi bangkrut.
4. Menerbitkan buku bacaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.

2.1.2 Ciri-ciri sastra Balai Pustaka
a. Bersifat kedaerahan
Persoalan yang digarap dalam sastra Balai Pustaka adalah persoalan yang hanya terjadi di Sumatra barat. Dalam sastra Balai Pustaka jawa dan Sunda persoalan adat seperti dilukiskan dalam sastra Melayu tidak ada, atau setidak-tidaknya bukan menjadi masalah daerah. Dengan demikian warna daerah cukup menonjol dalam sastra Balai Pustaka. Banyak kejadian cerita yang hanya dapat muncul dalam masyarakat minangkabau yang matrilineal itu dan hanya di sanalah sistem sosial itu terdapat.
b. Bersifat romantik-sentimental
Banyak roman Balai Pustaka yang mematikan tokoh-tokoh utamanya. Jarang ada tokoh yang menemukan kebahagiaan di akhir cerita (kecuali darah muda, dan roman yang tidak mengambil tema percintaan). Penggambaran cerita sengaja di sentimentalkan, segalanya serba sengsara. Banyak tokoh-tokoh roman yang anak yatim, kalau tiada berayah, juga sudah tiada beribu. Sejak kecil sudah penuh dengan perjalanan penderitaan dn berakhir dengan kematian.
c. Bergaya bahasa Balai Pustaka
Gaya pengucapan dan bahasa roman Balai Pustaka boleh dikatakan seragam, dan justru diseragamkan. Bahasa melayu yang ditulis oleh para pengarang asal Sumatra dijadikan standard bahasa. Inilah sebabnya banyak para pengarang yang berasal dari luar Sumatra juga harus “diperbaiki” dahulu bahasanya agar mencapai traf bahasa Balai Pustaka. Beberapa roman ditulis oleh dua pengarang, misalnya sebabnya Rafiah Tersesat dikerjakan oleh Hardjo Sumarto dan A. Dt. Madjondo, atau Dewi Rimba dikerjakan oleh M.D. Idris dan Nur Sutan Iskandar. Jadi para Pengarang asal Sumatra Barat mendampingi para Pegarang daerah luar Sumatra untuk membetulkan bahasa melayunya.
d. Bertema Sosial
Jarang Roman Balai pustaka yang menggarap secara khusus problem watak, agama atau politik. Memang dalam beberapa hal para pengarangnya dibatasi dalam mengungkapkan pengalaman hidupnya. Persoalan sosial yang digarap kebanyakan juga konflik antara orang-orang sedaerah. Rupanya ini memang dibiarkan berkembang oleh Balai Pustaka, agar para terdidik di Indonesia makin terpecah-pecah di antara golongannya sendiri sehingga tidak sempat memikirkan nasibnya sebagai bangsa terjajah.

2.1.3 Hasil Kesusastraan Balai Pustaka
I. Jenis Prosa
Sebagian besar hasil kesusastraan Balai Pustaka berupa prosa, misalnya:
a. Roman
1. Mengenai bahasanya
Mempergunakan bahasa melayu baru yang tetap dihiasi ungkapan-ungkapan klise serta uraian yang panjang-panjang.
2. Mengenai cara mengarang
Balai Pustaka ini masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan kepribadiannya. Terutama perkara pembaharuan sastra yang berciri Balai Pustaka. Tidak mustahil jka banyak sstra barat diimpor ke Indonesia. Buku-buku berbahasa belanda diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maka jadilah buku-buku bacaan berbahasa Indonesia dengan isi dan jalan pikiran barat. Akhirnya cara berpikr barat ni yang lebih dimnamis, lebih individualistis, mempengaruhi juga cara berpikir bangsa Indonesia. Mulailah berkembang pengarang Indonesia, karena pengaruh sastra barat dengan pikiran baratnya.
3. Mengenai isinya
Para penulis sastra Balai Pustaka sebagian besar berasal dari daerah Sumatra Barat dan daerah-daerah Sumatra lainnya. Jabatan para pengarang itu sebgian besar adalah guru dan redaktur atau campuran keduanya. Pendidikan mereka kebanyakan sekolah menengah dan ada beberapa yang lulusan perguruan tinggi. Melihat latar belakang ini jelaslah roman-roman Balai Pustaka adalah perbenturan kaum muda dengan adat daerahnya. Namun bukan masalah adat saja yang dipersoalkan, karena Balai Pustaka sebagai alat penjajahan harus “memberi pengarahan” juga pada para pembacanya. Secara garis besar tema yang digarp oleh sastra Balai Pustaka meliputi: pertentangan adat, kesetiaan sebagai pegawai anti nasionalisme dan kesejarahan.
4. Mengenai cara melukiskan cerita
Pada umumnya cara melukiskan cerita dalam roman Balai Pustaka selalu bercorak “Pasif-Romantik”. Ini berarti bahwa cita-cita baru senantiasa dikalahkan oleh adat lama yang masih beku sehingga hanya merupakan angan-angan belaka. Itulah sebabnya upaya pelaku utamanya dalam mencapi cita-cita selalu kandas, misalnya dimatikan oleh pengarangnya.
b. Novel/Cerpen
Sebenarnya tidak banyak novel/cerpen yang dihasilkan oleh Balai Pustaka. Sastra Balai Pustaka kebanyakan Roman, Puisi dan Syair. Beberapa cerpen misalnya:
- “Menyinggung Perasaan” karya Hasbullah Parinduri
- “Di Dalam Lembah Kehidupan “ karya Hamka
c. Kritik dan Essay
Salah satu essay pada sastra Balai Pustaka adalah Revolusi dan Kebudayaan karya Adinegoro (Jamaludin)
d. Drama
Pada sastra Balai Pustaka banyak Novel yang disuguhkan ke dalam bentuk drama, yaitu Kertajaya karya Sanusi pane. Terbitnya cerita drama Kertajaya menunujukkan bahwa pengarrangnya Sanusi Pane besar perhatiannya pada sejarah, atau peristiwa-peristiwa masa lalu. Kertajaya mementaskan petikan sejarah jawa lama. Kedua tokoh utamanya. Yaitu Kertajaya dan Damar Wulan, yang memperjuangkan kebenaran, akhirnya gugur secara tragis, tanpa berhasil mencapai cita-citanya.
II. Jenis Puisi
Bentuk puisi barat yang tidak terlalu terikat oleh syarat-syarat seperti puisi lama, mulai dipergunakan oleh penyair muda. Salah seorang penyair muda yakni Moh. Yamin, memelopori penggunaan bentuk sonata dalam kesusastraan Indonesia.

III. Syair
Di luar roman, cerita pendek dan drama, Balai Pustaka juga menghasilkan sejumlah besar karya syair. Karya demikian rupanya dsangat popular dalam masa sebelum perang dunia kedua, sebab bukan hanya Balai Pustaka banyak menerbitkan buku-buku semacam itu, tetapi juga para penerbit Tionghoa sejak 1870 menghasilkan buku-buku syair. Syair ini adalah warisan sastra internasional melayu, hal ini juga menunjukkan betapa para sastrawan melayu masih terikat pada budaya lama dan enggan memberontaknya.
Syair-syair yang diterbitkan Balai Pustaka sebenarnya hanya merupakan usaha menulis kembali naskah-naskah lama. Dalam hal ini sastrawan Balai Pustaka kalah maju dengan golongan masyarakat Tionghoaa yang dalam kesusastraannya banyak menulis syair-syair dengan bahan cerita yang aktual. Tetapi ini dapat dipahami karena golongan Tionghoa memang tidak memiliki tradisi syair, mereka hanya meminjam bentuk pengungkapan itu, di samping bentuk roman Barat. Adapun karya syair-syair yang pantas adalah:
- Syair Siti Aminah oleh O.St Sahbudin (1921) merupakan syair dengan cerita aktual.
- Syair Siti Asni oleh Muhamad Syah (1929) bertema kawin paksa.
- Syair Abdul Muluk oleh Balai Pustaka (1934)
- Syair Sitti Marhumah yang saleh oleh Tulis Sutan Sati (1930) dan seterusnya.



2.2 Kesusastraan Pujangga Baru
2.2.1 Latar Belakang
Dunia sastra Indonesia semakin menampilkan kemajuan dan kebebasan menciptakan pada masa angkatan pujangga baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para sastrawan pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai Pujangga Baru, yakni Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam manifestasi Pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya budaya dan martabat suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan. Tujuan dari majalah Pujangga baru ini adalah
1. Menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan zamannya.
2. Mempersatukan para sastrawan baru dalam satu wadah, yang sebelum itu tercerai berai menulis dalam beberapa majalah yang menyediakan ruang kebudayaan.
Meskipun maksud semula majalah ini adalah untuk memajukan kesusastraan baru, namun peranannya kemudian semakin meluas meliputi masalah-masalah kebudayaan umumnya.
2.2.2 Ciri-ciri Sastra Pujangga Baru
a. Sastra majalah
Sastra Balai Pustaka dan sastra Melayu –Rendah berpusat pada penerbit buku, makanya yang dilahirkan kebanyakan berupa roman, syair dan drama yang memang cukup panjang jalan ceritanya. Tetapi sejak sastra Pujangga Baru timbullah sastra majalah. Artinya banyak penulisnya yang melahirkan karya-karyanya lewat majalah. Buku jarang sekali diterbitkan. Buku-buku yang diterbitkan rata-rata berisi karya-krya yang pernah diterbitkan dalam majalah.
Sebagai sastra majalah, karya-karya yang banyak dibuat adalah puisi dan esei sastra. Karangan-karangan demikian itu tidak memakan banyak halaman majalah dan sekaligus dapat memuat banyak karya puisi. Keuntungan dari sastra majalah ini adalah bahwa karya para sastrawan lebih cepat diumumkan kepada pembacanya. Akibatnya banyak masalah aktual pada zamannya digarap dalam karya sastra.
b. Romantik
Lahirnya angkatan Pujangga Baru di tengah-tengah pergolakan kebangsaan, memberi pengaruh terhadap para sastrawannya. Dalam pujangga baru banyak dijumpai masalah cinta tanah air dan dambaan terhadap persatuan bangsa. Kaum pujangga baru banyak yang aktif dalam bidang politik dan mengalami gejolak masa radikal, maka tekanan bidang politik gubernur jenderal ini membawa pengaruh juga terhadap sifat sastranya.
Nasionlismenya Pujngga Baru menjadi moderat. Mereka tidak mau terang-terangan mengungkapkan nasionalisme secara radikal. Maka lahirlah karya-karya Romantik. Di bawah tekanan yang keras dari politik penjajahan, kaum Pujangga Baru lari ke dalam kejatyaan masa lampau atau merenungi kesunyian atau pengembaraan.
c. Lambang, Kiasan dan Metafora
Ciri yang menonjol dari puisi pujangga baru adalah penggunaan lambing dan kiasan. Penggunaan lambang ini menunjukkan bahwa mereka ingin menyatakan hasrta kebebasan dan nasionalismenya degan cara-cara tersembunyi, tidak mau terang-terangan. Ini disebabkan karena adanya tekanan dan ancaman yang nyata dari penjajah belanda.
Kiasan berbentuk alegori yang tekrenal terdapat dalam karya Rustam Effendi. Bebasari, sebuah sandiwara puisi yang mengisahkan pembebasan Dewi Bebasari, (lambang kemerdekaan Indonesia) oleh pujangga (lambang kaum muda) dari cengkraman Rawana yang jahat (lambang penjajah Belanda). Tetapi lambang-lambang yang banyak digunakan oleh kaum Pujangga Baru diambil dari alam. Dalam sajak-sajak mereka dijumpai kata-kata seperti: laut, awan, ombak, bunga, badai, gelombang, karang, biduk, pelita, dan sebagainya. Ki Hadjar Dewantara, misalnya dilambangkan sebagai teratai; H.O.S. Tjokroaminoto dilambangkan sebagai menara (mercusuar).

d. Berbahasa Indonesia
Bahasa yang digunkan dalam sastra Pujangga Baru adalah bhasa yang lain dengan sastra Balai Pustaka. Banyak kata-kata yang hidup dalam masyarakat dimasukkan ke dalam bahasa sastra. Begitu pula bahasa-bahsa daerah membuka perkembangan lebih luas bagi bahasa melayu-sekolah, karena banyaknya sastrawan-sastrawan Pujangga Baru yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Begitu pula bahasa belanda dan bahasa asing lainnya banyak masuk ke dalam bahasa Pujangga Baru. Bahkan dalam Belenggu karya Armijn pane, pengarangnya harus menyertakan daftar kata-kata yang diambilnya dari bahasa belanda dan bahasa asing lainnya untuk diterjemahkan. Namun bagaimanapun rintisan Pujangga Baru ini kelak akan melahirkan apa yang disebut bahasa Indonesia.

2.2.3 Hasil Kesusastraan Pujangga Baru
I. Jenis Prosa
Sebagian besar hasil kesusastraan Pujangga Baru berupa prosa, misalnya:
a. Roman
1. Mengenai bahasanya
Sudah lebih banyak mempergunakan bahasa yang sesuai dengan pergaulan modern. Ungkapan, kiasan dan juga perbandingan serba baru menurut kepribadian pengarang, dengan tidak adanya cara meniru satu sama lain. Perkembangan bahasa lebih maju, dan berkembang susunan bahasa melayu kuno dalam setiap karangan.
2. Mengenai cara mengarang
a. Dilukiskannya para pelaku dengan segala perwatakannnya, dan seolah-olah pengarang tidak akan memberikan pendapat apa-apa. Semua kesimpula diserahkan kepada para pembacanya sendiri. Segala citacita pengarang digambarkan lewat para pelakudengan segala permasalahannya masing-masing.
b. Lagipula para pelaku dalam roman Pujangga baru digambarkan seperti hidup bergerak, berdialog atau bersoal jawb sebagaimana orang biasa. Sedang pembacanya diajak memasuki suasana pikira para pelakunya. Pembacanya seperti ikut terlibat di dalamnya.
c. Roman Pujangga Baru jga mengutamakan segi psikologi, segi kejiwaan. Dilukiskanny apara pelaku dengan jalan pikiran dan kehidupan jiwnya masing-msing dalam menghadapi semua persoalan. Dengan demikian hampir semua roman angkatan ini mengandung analisa psikologis (ilmu jiwa).
3. Mengenai isinya
Sesuai dengan semangat pembaruan dan kebangusan bangsa Indonesia pada waktu itu, maka isi roman Pujangga baru juga menyangkut masalah yang kompleks. Tidak sekedar kawin paksa, masalah adat yang kolot model balai pustaka, tetapi sudah menjangkau problema hidup masyrakat banyak. Misalnya tentang politik, social, ekonomi, budaya, agama, pendidikan dan sebagainya. Cita-cita mereka dituangkan dalam bentuk cerita roman yang mengandung gambaran masyarakat Indonesia modern.
4. Mengenai cara melukiskan cerita
Pada umumnya cara melukiskan cerita dalam roman pujangga baru selalu bercorak “romantis idealis”, yaitu berdasarkan cita-cita pengarang yang terkandung dlam hati nuraninya. Hal-hal yang tidak memuaskan dan keadaan yang tidak menggembirakan, karena adanya kepincangan dalam masyarakat waktu itu, digambarkan secara jelas. Cita-cita kearah apa yang disebut baru, dibayangkan sebagai sesuatu yang indah, seindah-indahnya. Mereka terpesona oleh gambaran yang indah permai tentang masyarakat Indonesia baru itu.
b. Novel/Cerpen
Sebenarnya tidak banyak novel/cerpen yang dihasilkan oleh Pujangga Baru. Tidak seperti angkatan 45 yang memang mengembangkan bentuk novel/cerpen ini menjadi karya cipta yang memadai lahirnya angkatan kemerdekaan itu. Beberapa cerpen yang tidak begitu terkenal misalnya:
- “Kisah antara Manusia” oleh Armijn pane. Beberapa cerpennya diciptakan sesudah tahun 1945.
- Cerpen-cerpen yang ditulis dalam majalah “Panji Pustaka” oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
c. Kritik dan Essay
Penulisan kritik dan essay sejak lahirnya Pujangga Baru, mulai terarah dan teratur. Masalah-masalah yang menjadi tinjauan uatama ketika itu ialah masalah bahasa, kesusastraan, kebudayaan, juga dikupas soal “pengaruh barat” dalam segala segi kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.
d. Drama
Hilangnya rasa kesukuan dan lahirnya perasaan kebangsaan Indonesia, maka lahir pula kesusastraan nasional yang tinggi. Gerakan sstra modern ini tentu tidak dapat dilepaskan dengan makin meningkatnya kesadaran nasional itu. Banyak cerita drama yang menggmbarkan kebesaran-kebesaran Indonesia di masa silam, yang erat hubungannya dengan peristiwa sejarah tanah air.

II. Jenis Puisi
Pada zaman Pujangga Baru, perkembangan puisi lebih maju daripada angkatan sebelumnya. Lagi-lagi unsur kesadaran nasional dan semangat untuk bebas telah mengilhami mereka untuk mencipta dan berkarya. Sebagai akibat dari pergaulannya dengan bangsa barat; terutama bidang sastra, para pemuda terpelajar berusaha ingin mencampakkan ikatan-ikatan puisi lama yang tradisional. Terpancar dari puisi mereka yang penuh berisi perasaan bebas, cinta tanah air, benci terhadap kolonialisme. Puisi Pujangga Baru adalah puisi bebas dalam ikatan atau terikat dalam kebebasan.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Kesusastraan balai Pustaka memiliki perbedaan dari ciri-ciri masing-masing yaitu: a. Bersifat kedaerahan,Persoalan yang digarap dalam sastra Balai Pustaka adalah persoalan yang hanya terjadi di Sumatra barat. b. Bersifat romantik-sentimental, Banyak roman Balai Pustaka yang mematikan tokoh-tokoh utamanya. kecil sudah penuh dengan perjalanan penderitaan dn berakhir dengan kematian. c. Bergaya bahasa Balai Pustaka, Gaya pengucapan dan bahasa roman Balai Pustaka boleh dikatakan seragam, dan justru diseragamkan. d. Bertema Sosial, Jarang Roman Balai pustaka yang menggarap secara khusus problem watak, agama atau politik. Memang dalam beberapa hal para pengarangnya dibatasi dalam mengungkapkan pengalaman hidupnya.
Kesusatraan Pujangga baru memiliki perbedaan dari ciri-ciri yaitu: a. Sastra majalah, Sastra Balai Pustaka dan sastra Melayu –Rendah berpusat pada penerbit buku, makanya yang dilahirkan kebanyakan berupa roman, syair dan drama yang memang cukup panjang jalan ceritanya. Tetapi sejak sastra Pujangga Baru timbullah sastra majalah. Artinya banyak penulisnya yang melahirkan karya-karyanya lewat majalah. b. Romantik, Lahirnya angkatan Pujangga Baru di tengah-tengah pergolakan kebangsaan, memberi pengaruh terhadap para sastrawannya. c. Lambang, Kiasan dan Metafora, Ciri yang menonjol dari puisi pujangga baru adalah penggunaan lambing dan kiasan. d. Berbahasa Indonesia, Bahasa yang digunakan dalam sastra Pujangga Baru adalah bahasa yang lain dengan sastra Balai Pustaka.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang perlu penulis sampaikan dalam makalah ini adalah disarankan kepada pembaca ataupun para ahli untuk membahas perbedaan dari angkatan balai pustaka dan pujangga baru mengenai hasil kesusastraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Roeslan M. 1983. Selayang Pandang Kesusastraan Indonesia. Surabaya: Indah.

Nursito. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Rani, Supratman Abdul dan Yani Maryani. 2006. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Sumardjo, Jakob. 1992. Lintasan Indonesia Modern jilid I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Yandianto. 2004. Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Indonesia. Bandung: CV.M2S BANDUNG.



























Lampiran

Jenis Perbedaan BALAI PUSTAKA PUJANGGA BARU
Latar Belakang Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Dalam manifestasi Pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya budaya dan martabat suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan.
Ciri-ciri a. Bersifat kedaerahan
b. Bersifat romantik-sentimental
c. Bergaya bahasa Balai Pustaka
d. Bertema Sosial

a. Sastra majalah
b. Romantik
c. Lambang, Kiasan dan Metafora
d. Berbahasa Indonesia


Hasil Kesusastraan Jenis Prosa: Roman, Novel/cerpen, drama, kritik dan essay
Jenis Puisi: Puisi Lama
Jenis Syair Jenis Prosa: Roman, Novel/Cerpen, drama, kritik dan essay.
Jenis Puisi: puisi bebas dalam ikatan.

0 komentar:

Posting Komentar