Folklor dan Genre
Apabila kebudayaan pada
umumnya, menurut Clark Wissler, Ralph Linton, dan kawan-kawan, mempunyai
unsur-unsur yang disebut cultur
universals, yang kemudian diperinci lagi menjadi aktivitas-aktivitas
kebudayaan (cultural activities), kompleks
unsur-unsur (trait complexes),
unsur-unsur (traits), unsur-unsur
kecil (items), maka folklore juga
mempunyai unsur-unsur yang semacam itu yang disebut dengan istilah Perancis
genre (baca syanre), atau dapat
diterjemahkan menjadi bentuk dalam bahasa indonesia.
Menurut Danandjaya (2007:2)
mengemukakan bahwa:
Folkor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif,
yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa
saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat (mnemonic device).
Sebagian kebudayaan yang
diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. seperti yang terdapat dalam
Kamus Istilah Sastra (2006:100) menjelaskan bahwa folklore adalah adat istiadat
dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan; suatu
budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki budaya
lain.
Genre dalam bahasa indonesia dapat padankan
dengan jenis, tipe atau kelas. Seperti
yang terdapat dalam Kamus Istilah Sastra (2006:105) menjelaskan bahwa
genre adalah jenis yang dihasilkan dari kesastraan atau kesenian yang mempunyai
gaya, bentuk, atau isi tertentu.
Sebagai bagian dari
kebudayaan, folklor memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan dari ragam budaya yang
lainnya. Ciri-ciri folklor menurut Danandjaja (2007:3) adalah sebagai berikut:
a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya
dilakukan secara lisan.
b) Bersifat tradisional.
c) Membentuk versi atau varian yang berbeda-beda
dikarenakan penyebarannya secara lisan.
d) Bersifat anonim.
e) Biasanya mempunyai bentuk berumus atau
berpola.
f) Mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama
suatu kolektif.
g) Bersifat pralogis.
h) Merupakan milik bersama dari kolektif
tertentu.
i)
Pada
Umumnya bersifat polos dan lugu, bahkan sering berkesan kasar dan spontan.
3.2 Bentuk-bentuk Folklor
Menurut Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari AS, dapat
digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya:
- folklor
lisan (verbal folklore)
Folklore lisan
adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan. bentuk-bentuk (genre) folklore yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel
kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan
pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti
pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda,
dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.
Sastra lisan
atau dalam bahasa Inggris oral literature diartikan sebagai unwritten
literature, yaitu bentuk-bentuk sastra yang hidup dan tersebar secara tidak
tertulis . Banyak ahli sastra yang menghindari penggunaan kata literature yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sastra. Kata literature mengacu pada
literary/literacy yang selalu berarti tertulis. Jadi istilah oral literature
atau sastra lisan dianggap rancu karena sekaligus memuat dua unsur yang
bertentangan, yaitu lisan dan tertulis.
Sebenarnya kerancuan tersebut tidak perlu terjadi bila sastra atau literature diterjemahkan secara luas. Maksudnya, sastra tidak selalu berarti tertulis atau dengan kata lain, sastra tidak identik dengan bahasa tulis. Lagipula, dalam perkembangannya, istilah literature sendiri pada saat ini tidak selalu mengacu kepada karya-karya sastra tertulis (Teeuw, 1988: 38). Sedangkan menurut Finnegan, sastra lisan akan dapat diterima dan berguna tergantung kapada materi yang dianalisis serta permasalahan yang diajukan dalam analisis (Finnegan, 1992: 9).
Sebagai akibat dari anggapan kerancuan istilah, sastra lisan sering dipertukarkan dengan istilah tradisi lisan. Tradisi merupakan budaya yang berguna, cara untuk melakukan suatu hal, unik, berproses dalam hal pekerjaan, ide, atau nilai, dan kadang-kadang berkonotasi kuno serta muncul secara alami. Jadi, tradisi lisan adalah tradisi yang bersifat verbal atau tidak tertulis, milik masyarakat (folk), dan memiliki nilai (Finnegan, 1992: 7). Sementara itu, Danandjaya justru menyamakan tradisi lisan dengan folklor lisan (Danandjaya dalam Pudentia, 1998: 54). Memang ada karakteristik yang menyamakan sastra lisan dengan tradisi lisan atau folklor lisan yaitu bahwa penyebaran dan pewarisannya terjadi secara lisan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan ataupun folklor lisan. jadi, sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi sastra suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (Hutomo, 1991: 60). Adapun sastra lisan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan yang setengah lisan. Sastra lisan murni merupakan ragam sastra lisan yang penyampaiannya benar-benar secara lisan tanpa alat bantu lain. Sastra lisan murni pada umumnya berbentuk prosa rakyat, prosa liris dan bentuk-bentuk puisi rakyat.
Sebenarnya kerancuan tersebut tidak perlu terjadi bila sastra atau literature diterjemahkan secara luas. Maksudnya, sastra tidak selalu berarti tertulis atau dengan kata lain, sastra tidak identik dengan bahasa tulis. Lagipula, dalam perkembangannya, istilah literature sendiri pada saat ini tidak selalu mengacu kepada karya-karya sastra tertulis (Teeuw, 1988: 38). Sedangkan menurut Finnegan, sastra lisan akan dapat diterima dan berguna tergantung kapada materi yang dianalisis serta permasalahan yang diajukan dalam analisis (Finnegan, 1992: 9).
Sebagai akibat dari anggapan kerancuan istilah, sastra lisan sering dipertukarkan dengan istilah tradisi lisan. Tradisi merupakan budaya yang berguna, cara untuk melakukan suatu hal, unik, berproses dalam hal pekerjaan, ide, atau nilai, dan kadang-kadang berkonotasi kuno serta muncul secara alami. Jadi, tradisi lisan adalah tradisi yang bersifat verbal atau tidak tertulis, milik masyarakat (folk), dan memiliki nilai (Finnegan, 1992: 7). Sementara itu, Danandjaya justru menyamakan tradisi lisan dengan folklor lisan (Danandjaya dalam Pudentia, 1998: 54). Memang ada karakteristik yang menyamakan sastra lisan dengan tradisi lisan atau folklor lisan yaitu bahwa penyebaran dan pewarisannya terjadi secara lisan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan ataupun folklor lisan. jadi, sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi sastra suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (Hutomo, 1991: 60). Adapun sastra lisan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan yang setengah lisan. Sastra lisan murni merupakan ragam sastra lisan yang penyampaiannya benar-benar secara lisan tanpa alat bantu lain. Sastra lisan murni pada umumnya berbentuk prosa rakyat, prosa liris dan bentuk-bentuk puisi rakyat.
Sedangkan
sastra lisan yang setengah lisan merupakan sastra lisan yang disampaikan dengan
bantuan tingkah laku serta bentuk-bentuk seni yang lain. Sastra lisan jenis ini
misalnya drama panggung dan drama arena, serta sastra lisan murni yang
disampaikan dengan alat musik. Seperti kita ketahui, carita pantun (Sunda),
kaba (Minangkabau), dan kentrung (Jawa) biasanya dipertunjukkan dengan alat
musik tradisional (Hutomo, 1991: 62-64).
Dalam hal ini, cerita-cerita Batuwangi merupakan sastra lisan yang murni, yaitu prosa rakyat atau cerita rakyat. Jenis-jenis prosa rakyat di antaranya adalah mite, legenda, dongeng, dan bentuk-bentuk naratif lainnya (Finnegan, 1992: 146-148, Danandjaya, 2002: 50). Di dalam analisis perlu juga mengklasifikasikan cerita-cerita Batuwangi sesuai karakteristik yang dimiliki masing-masing cerita.
- folklor
sebagian lisan (partly verbal folklore)
Folklor
sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan
unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, atau sering kali juga disebut ”takhyul”,
adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana
bahkan pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok
besar ini, selain kepercayaan rakyat
adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat,
upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
- folklor
bukan lisan (non partly verbal folklore)
folklor bukan
lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya
diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua
subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material.
3.3 Istilah-istilah
Dalam penelitian satra lisan
kita diminta untuk memahami istilah-istilah yang sering digunakan oleh para
ahli praktek, masing-masing istilah itu sering kali sulit diacukan pada sesuatu
bahan yang dijumpai, sebab dalam satu bahan sering pula dapat diacukan dua atau
lebih istilah yang tersedia.
I.
Bahan
yang bercorak cerita:
1. Mitos (myths)
Mite adalah prosa
naratif yang dalam masyarakat pemiliknya diyakini sebagai kejadian yang
sungguh-sungguh terjadi di masa lampau, dianggap memiliki kekuatan untuk
menjawab ketidaktahuan, keragu-raguan, atau ketidakpercayaan, sering
diasosiasikan dengan kepercayaan dan ritual, mite biasanya dianggap suci,
tokohnya bukan manusia, melainkan binatang, dewa, atau pahlawan kebudayaan yang
terjadi di dunia yang belum seperti yang kita kenal sekarang (Sutarto,1997:
12-13).
Dalam khazanah sastra nusantara, Yus Rusyana menjelaskan bahwa mite menggambarkan peristiwa yang dibayangkan pada masa lalu yang sudah tidak diketahui lagi kapan terjadinya, ditokohi oleh manusia atas atau manusia suci yang mempunyai kekuatan supranatural, atau manusia yang berasal dari atau yang mempunyai hubungan dengan dunia atas, yaitu kedewaan atau kayangan. Mite dapat diklasifikasikan menjadi mite penciptaan dan mite yang menceritakan asal-usul terbentuknya sesuatu (Rusyana, 2000: 5-7).
Dalam khazanah sastra nusantara, Yus Rusyana menjelaskan bahwa mite menggambarkan peristiwa yang dibayangkan pada masa lalu yang sudah tidak diketahui lagi kapan terjadinya, ditokohi oleh manusia atas atau manusia suci yang mempunyai kekuatan supranatural, atau manusia yang berasal dari atau yang mempunyai hubungan dengan dunia atas, yaitu kedewaan atau kayangan. Mite dapat diklasifikasikan menjadi mite penciptaan dan mite yang menceritakan asal-usul terbentuknya sesuatu (Rusyana, 2000: 5-7).
2. Legenda (legends)
Legenda adalah
cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu
kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda
bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau,
dan bertempat di dunia yang seperti kita kenal sekarang (Danandjaya, 2002: 66).
Dalam khasanah sastra Nusantara, legenda pun dapat diklasifikasikan sebagai 1) legenda penyebaran agama Islam, dan 2) legenda pembangun masyarakat dan budaya. Kelompok legenda penyebar agama Islam mengandung unsur penyebaran agama Islam di tempat tertentu di Indonesia oleh para pelaku yang memerankan tokoh ulama. Sementara itu, tokoh legenda pembangun masyarakat dan budaya misalnya melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kebudayaan seperti membangun rumah, melakukan upacara tertentu, membuat senjata, menjadi raja dan sebagainya (Rusyana, 2000: 41-42).
Legenda merupakan jenis prosa rakyat yang paling mempunyai nilai sejarah, terutama sebagai sumber penyusunan sejarah lokal desa-desa di Indonesia dari masa yang belum begitu lampau. Namun demikian, untuk menggunakannya sebagai sumber sejarah, legenda harus dibersihkan dari unsur-unsur folklor yang pralogis dan memiliki formula sastra lisan, serta perlu juga mempelajari sejarah penyatuan desa-desa tersebut dan bentuk-bentuk folklor lain yang ada di masyarakat (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 472-474).
Dalam khasanah sastra Nusantara, legenda pun dapat diklasifikasikan sebagai 1) legenda penyebaran agama Islam, dan 2) legenda pembangun masyarakat dan budaya. Kelompok legenda penyebar agama Islam mengandung unsur penyebaran agama Islam di tempat tertentu di Indonesia oleh para pelaku yang memerankan tokoh ulama. Sementara itu, tokoh legenda pembangun masyarakat dan budaya misalnya melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kebudayaan seperti membangun rumah, melakukan upacara tertentu, membuat senjata, menjadi raja dan sebagainya (Rusyana, 2000: 41-42).
Legenda merupakan jenis prosa rakyat yang paling mempunyai nilai sejarah, terutama sebagai sumber penyusunan sejarah lokal desa-desa di Indonesia dari masa yang belum begitu lampau. Namun demikian, untuk menggunakannya sebagai sumber sejarah, legenda harus dibersihkan dari unsur-unsur folklor yang pralogis dan memiliki formula sastra lisan, serta perlu juga mempelajari sejarah penyatuan desa-desa tersebut dan bentuk-bentuk folklor lain yang ada di masyarakat (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 472-474).
3. Epik (epics)
Epik adalah
cerita-cerita perihal kepahlawanan seorang tokoh. contoh epik yaitu Jaka
Tingkir, Hang Tuah, dan lain-lain.
4. Cerita tutur (ballads)
Cerita Tutur atau
ada juga yang menyebutnya; sebagai balada, adalah cerita atau kisah yang
penyampaiannya dinyanyikan/ diiramakan. Indonesia, sebenarnya, banyak sekali
kisah yang dituturkan secara lisan. Misalnya kisah-kisah yang dituturkan oleh
tukang kaba, juru pantun, dan lain-lain.
Menurut Surana
(2001:69) menyatakan bahwa balada ialah cerita, kisah, hikayat yang digubah
dalam bntuk puisi. sebuah balada yang terkenal ialah ”Hang Tuah” karya Amir
Hamzah.
5. Dongeng dan Bentuk Naratif Lainnya.
Dongeng adalah prosa naratif yang bersifat
fiksi, tidak dipercayai sebagai dogma atau sejarah, mungkin terjadi ataupun
tidak, tidak dianggap serius, dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, dan
biasanya merupakan pengalaman perjalanan binatang, kadang-kadang peri, atau
tokoh manusia (Bascom dalam Finnegan, 1992: 148-149). Dongeng juga merupakan
cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk
hiburan, walaupun ada juga yang melukiskan kebenaran, pelajaran (moral) atau bahkan
sindiran (Danandjaya, 2002: 83).
Danandjaya membagi dongeng ke dalam empat
kelompok, yaitu:
a. dongeng-dongeng binatang (animal tales),
b. dongeng-dongeng biasa (ordinary folktales),
c. lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes), dan
d. dongeng-dongeng berumus (formula tales).
a. dongeng-dongeng binatang (animal tales),
b. dongeng-dongeng biasa (ordinary folktales),
c. lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes), dan
d. dongeng-dongeng berumus (formula tales).
Selain dongeng, bentuk naratif prosa rakyat di antaranya adalah memori atau memorat, yaitu kisah seseorang yang berisi pengalaman yang luar biasa. Cerita seperti ini tidak mempunyai struktur tertentu. Yang menarik dari memorat adalah hubungannya dengan kepercayaan penduduk setempat (Hutomo, 1991:65). Sementara itu, Finnegan memisahkan fabel dan sage sebagai bentuk naratif yang oegbeda dengan dongeng.
II.
Bahan
yang bercorak bukan cerita
1.
Ungkapan
(folk speech)
Ungkapan ialah
perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan sesuatu maksud dengan
arti kiasan.
2. Nyanyian (songs)
Nyanyian adalah
bunyi (suara) yang berirama dan berlagu musik. Nyanyian ini bermacam-macam,
Misalnya:
a. Nyanyian anak-anak
b. Nyanyian nina-bobo
c. Nyanyian kerja
d. Nyanyian permainan
e. Nyanyian situasi
f. Nyanyian sedih waktu pemakaman
3. Teka-teki (riddles)
Teka-teki adalah
soal yang berupa kalimat (cerita) sebagai permainan atau untuk mengasah
pikiran.
4. Puisi lisan (rhymes)
Puisi lisan adalah
puisi yang dilisankan saja. Misalnya, ucapan-ucapan sebagai berikut:
a. Ting-ting gula batu, budak jahat memang
begitu.
b. Tang tang tut, keladi wa-wa, siapa kentut
berlaki apek tua.
III.
Bahan
yang bercorak tingkah laku (drama)
1. Drama panggung dan drama arena
Dalam hubungannya
sastra lisan, drama –drama tradisional yang dipertunjukkan di panggung atau
arena terbuka sangat menarik. Termasuk dalam kelompok drama panggung dan drama
arena ini adalah tukang jual obat.
0 komentar:
Posting Komentar