Sajak-Sajak Sepatu Tua Karya WS Rendra



SAJAK-SAJAK SEPATU TUA

MANCURIA
Di padang-padang yang luas
kuda-kuda liar berpacu.
Rindu dan tuju selalu berpacu.
Di rumput-rumput yang tinggi
angin menggosokkan punggungnya yang gatal.
Di padang yang luas aku ditantang.
Hujan turun di atas padang.
Wahai, badai dan hujan di atas padang!
Dan di cakrawala, di dalam hujan
kulihat diriku yang dulu hilang.

HOTEL INTERNASIONAL, PYONGYANG
Di malam yang larut itu
dengan jari-jari yang rusuh kubuka pintu balkon
dan lalu bergumullah diriku dengan sepi.
Malam musim gugur yang tidak ramah
mengusir orang dari jalanan.
Dan pohon-pohon seperti janda yang tua.
Kecuali angin tak ada lagi yang bernyawa
Di dalam sepi orang menatap diri sendiri
menghadap diri sendiri
dan telanjang dalam jiwa.
Angin Pyongyang mengacau rambutku
dan bertanya:
“Lelaki kurus dengan rambut kusutmasai
engkau gerangan putra siapa?”
Lalu kulihatlah wajahku yang tegang,
diriku yang guyah, serta hatiku yang gelisah.
Aku mencoba ramah dan menegur diriku:
“Hallo! — Ada apa ?”
Malam yang larut itu gemetar dan kelabu.
Kesepian menghadap padaku bagai kaca.
“Ayolah, buyung!
Kau toh bukan kakek yang tua!”
Lalu akupun tersipu
meskipun tahu
itu tak perlu

MORANBONG, PYONGYANG
Aku akan tidur
di rumputan
di tepi kolam.
Sementara undan
dan belibis
berenangan.
Lihatlah, aku berdosa.
Aku akan tidur
di bawah pohon liu
yang rindang.
Dalam waktu yang mewah
tapi hampa
aku berjalan dalam taman
mengintip pasangan bersembunyi
di dalam hutan.
Sambil makan
jagung bakar
dan apel Korea
mendengarkan lagu rakyat
dinyanyikan orang.
Kantongkupun penuh dosa.
Lalu kupilihlah tempat ini
tempat tidurku di rumputan
dekat tembok pagar yang tua
memandang kuil beratap merah
dan angin lewat
untuk pergi ke lembah yang jauh.
Mencuri dosa.
Aku akan tidur
di tepi kolam
di bawah pohon liu
yang rindang.
Aku payah oleh dosa.

SANATORIUM CHAKHALINaGARA, MOSKWA
Hatiku terbaring telanjang di meja
di atas piring
di samping pisau, senduk, dan garpu,
selagi aku duduk di kursi putih
dengan koran tak bisa dibaca
di pangkuanku.
Pintu balkon yang terbuka
menampakkan terali yang hitam
serta langit yang tua renta.
Bayangan gelas dan teko porselin
dipantulkan kaca pintu.
Kemudian nampak pula diriku ;
wajahku yang sepi setelah dicuci,
hatiku yang rewel dan manja.
Siapa pula aku tunggu?
Siapa atau apa?
Perawat datang dengan wajah yang heran.
Ia menggelengkan kepala:
“Kamerad tak makan?”
“Lyuda, aku tak bisa makan.
Tak bisa kumakan wajah kekasih
tak bisa kuminum ibuku bersama susu
dan tak bisa kuusar mata adik dengan mentega!”
Ia mengangkat bahu dan bertanya.
Ah, ia toh tak tahu bahasa rindu!
Apabila ia lenyap dari pintu
dengan langkah lunak di atas permadani
ia tak akan tahu
bahwa waktu pernah beku dan berhenti
segala bunyi dan warna tanpa makna
dan bahkan
bagi mimpi, duka, derita, maupun kebahagiaan
tak ada pintu yang membuka.

SUNGAI MOSKWA
Di hari Minggu
Valya tertawa
dan rambutnya yang pirang
terberai.
Di atas biduk yang kecil merah
kami tempuh air
melewatkan jam-jam yang kosong.
Berpuluh pohonan
tumbuh di dua tepi sungai
bagai jumlahnya dosa kami.
Semua daun
berubah warna.
Musim gugur sudah tiba.
Di atas air yang hijau
kami meluncur
diikuti bayang-bayang yang kabur.
Melewati lengkungan jembatan
bagai melewati lengkungan kekosongan.
Musim gugur sudah tiba.
Valya tertawa
dadanya terguncang
di dalam sweaternya.
Musim gugur sudah tiba.

SEBUAH RESTORAN, MOSKWA
Melalui caviar dan wodka
kami langgar sepuluh dosa.
Di atas kain meja yang putih
terbarut tindakan yang sia-sia.
Botol-botol anggur yang angkuh
dan teman wanita yang muda
adalah hiasan malam yang terasa tua.
Hari-hari yang nampak koyak-moyak
disulam dengan manis oleh wajahnya.
Dalam kepalsuan
kami berdua bertatapan.
Bahunya yang halus berkilau biru
oleh cahaya lilin dan lampu.
Pintu-pintu berpolitur
dengan tirai untaian merjan.
Sementara musik berbunyi
jam berapa kami tak tahu.
Di atas kursi Perancis
kami bertukar senyum
dan tahu
masing-masing saling menipu.
Dengan gelas-gelas yang tinggi
kita membunuh waktu
dalam dosa.
Bila begini:
manusia sama saja dengan cerutu
bistik ataupun whiski-soda
berhadapan dengan waktu
jadi tak berdaya.

SRETENSKI BOULEVARD
Di sepanjang Sretenski Boulevard
kuseret langkahku
dan kebosananku.
Di bawah naungan pepohonan rindang
di sepanjang jalan bersih dengan bunga-bungaan
kucekik kebosananku
dalam langkah-langkah yang lamban.
Di Sretenski Boulevard
di bangku panjang
di antara pasangan berciuman
dan orang tua membaca buku
kuhenyakkan tubuhku yang lesu
kuhenyakkan kebosananku.
Maka
sambil diseling memandang
pasangan yang lewat bergandengan
dan ibu mendorong bayi dalam kereta
kupandang pula di depanku
kelesuanku dan kejemuanku.
Terang bukan soal kesepian
di tengah berpuluh teman
dan wanita untuk berkencan.
Masing-masing orang punya perkelahian.
Masing-masing waktu punya perkelahian.
Dan kadang-kadang kita ingin sepi serta sendiri.
Kerna, wahai, setanku yang satu
bernama kebosanan!
Di sepanjang Sretenski Boulevard
di sepanjang Sretenski Boulevard
di tempat yang khusus untuk ini
kuseret langkahku
dan kebosananku.
Lalu kulindas
di bawah sepatu.

HOTEL AICHUN, KANTON
Dalam siang yang tenteram
kubuka jendela lebar-lebar
menangkap hawa luar.
Langit yang ramah
dan sejalur ranting leci
membayang nampak pada kaca
di daun jendela.
Loncengpun berbunyi
duabelas kali.
Dan kipas listrik berputar.
Serba tenang, serba tentram.
Ketika menengok ke bawah
nampak orang-orang yang lamban kepanasan
di jalan batubata.
Serta lebih jauh lagi
nampaklah sungai Mutiara
yang lebih payah dari semuanya.
Payah tapi damai.
Tirai sutra Cina penuh berbunga
menambah indah kamar ini.
Dan aku berdandan
di depan lemari berkaca yang besar
serta penuh ukiran naga.
Dalam sepi dan damai.
Sekarang aku merasa tentram
setelah semalam bergulat dalam diri
dan meredakan rindu dengan mengerti.
Tentu
masih juga mengenangkan
tanah kelahiranku
tetapi bersama kesabaran.
Tanpa menulis sajak-sajak
tanpa bertekun di atas buku
aku ingin memuasi sepi.
Dan sambil membuat lingkaran-lingkaran
dengan asap rokok
kunikmatilah sebuah istirah
yang lumayan.

0 komentar:

Posting Komentar