Puisi Surat Cinta - W S Rendra



Surat Cinta


Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !


Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !


Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan


Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain...
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa


Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku


Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu


Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !




Karya: W S Rendra
»»  READMORE...

Sejarah Pers Sejagad


2.1 Pengertian Pers
      Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press dalam bahasa inggris yang juga berarti menekan atau mengepres (Budyatna, 2007:17). Dalam bahasa inggris, Pers (press) berarti mesin pencetak, orang-orang yang terlibat dalam kepenulisan atau produksi berita, menekan, dan sebagainya. Menurut Romli (2005:6-7) mengemukakan bahwa:
Dalam Leksikon Komunikasi, pers punya banyak arti: 1. Usaha percetakan atau penerbitan 2. Usaha Pengumpulan atau penyiaran berita 3. Penyiaran berita melalui media massa 4. Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita 5. Media penyiaran, yaitu media massa 6. Ada pula pendapat, pers merupakan singkatan dari persuratkabaran.

Istilah “pers” muncul berkat kemajuan teknologi dan ditemukannya percetakan suratkabar atau media massa cetak dengan sistem silinder (rotasi). Akibatnya, orang mengindentikkan istilah “jurnalistik” dengan “pers”, disamping mengindentikkan “jurnalistik” dengan “media massa”. Bahkan, wartawan pun mendapat julukan “insan pers” selain julukan lain seperti kuli tinta, kuli disket dan orang media.
Berdasarkan definsi pers di atas maka, pengertian mengenai pers meliputi yaitu pers dalam arti kata sempit yaitu menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan oleh media cetak maupun oleh media elektronik seperti radio, televisi maupun internet.
            Demikian pula para ahli filsafat menyatakan, karya Pers sebagai suatu kegiatan pemberitahuan tentang apa-apa yang diharapkan umum kepada umum. Menurut mereka Karya Pers adalah melayani umum dalam memberikan kenyatan-kenyataan yang seharusnya diperoleh rakyat, sebab kenyataan-kenyataan itulah yang akan memberikan kemerdekaan kepada rakyat. Dalam hal ini kedudukan pers lebih tinggi dan penting, karena dimaksudkan dengan istilah kemerdekaan dalam pernyataaan tersebut tidak hanya berarti kemerdekaan fisik saja melainkan juga mencakup kemerdekaan psikis (jiwa). Hal demikian jelas terlihat dalam fungsi pers Indonesia (UU no 11 tahun 1966 setelah diubah dengan UU No 4 Tahun 1967 dan UU No 21 Tahun 1982) yang menetapkan bahwa pers nasional mempunyai fungsi kemasyarakatan, pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan konstruktif-progresif, yang meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia.
            Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa secara luas. Pers merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannaya melayani dan mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya sehari-hari.

2.2 Sejarah Perkembangan Pers Sejagad
2.2.1 Lahirnya Pers
            Sejarah lahirnya suratkabar dan pers itu sendiri adalah berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Sejarah mencatat dalam pertempuran merebut kemerdekaan RI Tahun 1945, Pers tidak sekedar ikut berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi besar peranannya dalam menyebarluaskan semangat revolusi Indonesia keseluruh dunia, sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia diakui oleh Negara-negara lain. Disini, pers berfungsi sebagai teman seperjuangan.

2.2.2 Sejarah Pers Indonesia
            Menulis tentang sejarah pers Indonesia adalah suatu cerita yang panjang sekali, karena untuk membentangkan sejarah pers Indonesia. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang diatur secara berorganisasi, yaitu pada awal abad ke-20 atau lebih tepat lagi sejak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.
            Sejarah pers di Indonesia dapat di golongkan dalam tiga kategori, yaitu sejarah pers nasional, Sejarah pers kolonial dan sejarah pers cina. Dengan pers nasional dimaksudkan, surat-surat kabar, majalah-majalah yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia atau daerah, malahan ada juga dalam bahasa belanda dan diperuntukkan terutama bangsa Indonesia. Pers nasional ini diusahakan oleh orang-orang Indonesia, biasanya oleh kaum pergerakan nasional atau menurut istilah dewasa ini kaum perintis kemerdekaan dan bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak bangsa-bangsa Indonesia di masa penjajahan.
            Pers kolonial diusahakan oleh orang-orang Belanda, berupa surat-surat kabar, majalah-majalah dalam bahasa Belanda, daerah atau Indonesia dan bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda. Dengan pers di Cina dimaksud koran-koran, majalah–majalah dalam bahasa Cina, Indonesia dan juga bahasa Belanda, yang diterbitkan oleh golongan penduduk Cina.
            Pada tanggal 14 Maret 1688, setelah tibanya mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda, atas instruksi pemerintah, oleh para pegawainya diterbitkan surat kabar tercetak yang pertama. Setelah surat kabar tercetak pertama tersebut, terbitlah kemudian di beberapa tempat lain di Jawa, surat-surat kabar yang diusahakan oleh para pemilik percetakan-percetakan dan dapat dikatakan lebih berbentuk “Koran-koran iklan”.

2.2.3 Ditemukan Mesin Cetak di  Cina
            Sampai sekarang ahli sejarah masih terus menyelidiki asal usul suratkabar. sebagian mengatakan suratkabar pertama terbit di Cina. hal itu dikaitkan dengan kemajuan pesat yang dicapainya dalam penemuan seperti mesiu, kompas dan percetakan. suratkabar pertama yang diterbitkan di Peking bernama King-Pao. isinya mengenai peraturan yang dikeluarkan oleh kaisar Kwang Soo.
            Cerita lain mengatakan suratkabar pertama tidak terbit di Cina baru dikenal Nebukadnezar, 604-567 S.M. Sementara yaitu ahli sejarah Saetonius mempunyai keterangan lain. Dalam risalah Amerika ia mengemukakan silsilah suratkabar, ”the Newspaper’s family tree”. ia mengungkapkan, bahwa suratkabar pertama oleh Julius Caesar, 100-44 S.M. Nama suratkabar “Acta Diurna”, yang artinya kejadian sehari-hari.
            Caesar dikenal sebagai negarawan dan panglima perang, yang bersemboyan: Veni, Vidi, Vici! Saya datang, melihat dan menang! kekuasaannya meliputi wilayah barat dan timur. Mesir dibawah Ratu Cleopatra yang cerdas dan cantik ditaklukkannya.    
            Kata “Journalist”, yang sekarang biasa dipakai, berasal dari “Diurna”dan “Diurnarii”. di Indonesia disebut jurnalis, yang diterjemahkan menjadi wartawan. “Actuarii” atau karyawan, yang bekerja pada surat kabar bagian kewartaan.
            Penulis sejarah “Acta Diurna” Terbit tahun 59 SM. Isinya terutama berita mengenai pemerintahan. ditulis di atas meja, dimana tiap orang berkesempatan membaca, yang tinggal jauh dari Roma menyuruh orang mencatat dan menyampaikan berita “ Acta diurna”.
            Orang itu disebut “actuary”, yang selain resmi menyampaikan pula berita tidak resmi. karena makin banyak jurnal, “Actuarii”, isi “Acta Diurna” dibacakan tiap pagi selama dua jam. Isinya dibagi seperti: berita resmi mengenai mutasi pegawai; kunjungan pemimpin “Politik” atau undangan kaisar untuk minta keterangan; berita keluarga kelahiran, perkawinan, kematian; pesta atau kegiatan sosial seperti upacara persembahan, permainan sirkus; berita “dalam negeri”, yang diterima dari berbagai daerah. Dua jurnalis terkenal ialah Chrestus dan Caelius Rufus.
            Perusahaan surat kabar sebenarnya sudah lengkap, kecuali mesin cetak. “Actuary menggunakan “Steno” supaya cepat mencatat berita. “Diurna Commentarii” adalah suratkabar khusus, yang diterbitkan oleh keluarga kaya. Isinya bersifat umum mengenai khusus keluarga. Sampai abad ke-4 setelah masehi “Acta Diurna” terbit. menjadi pengawal Romawi Raya yang megah dan jaya selama lebih kurang 5 abad.
            Surat kabar kuno adalah surat keterangan bagi ahli sejarah untuk mengetahui kehidupan pada masa tertentu. Dalam hal ini kita berlaku teliti dan waspada sekali. kejadian yang diberitahukan berlangsung, dimana syarat dan keadaan berlainan dengan yang kita alami sekarang.
            Surat kabar pada hakikatnya menjadi penulis sejarah secara terperinci mencatat segala kejadian dari hari ke hari, jam ke jam, sampai menit ke menit. hanya sayang, suratkabar tidak disimpan ratusan sampai ribuan tahun karena kertas tidak tahan lama disimpan. Setelah Romawi runtuh, “Acta Diurna” tidak terbit lagi. Bangsa-bangsa Eropa setelah itu terus menerus bertentangan dan perang memerangi dengan mencapai puncak perang dunia pertama dan kedua.
            Namun demikian, dari hasil penelitian sejarah kita dapat mengetahui bahwa pada permulaan pertumbuhannya jurnalistik berjalan dengan kondisi sebagai berikut:
1. Subyek penyajiannya berupa pemerintah, yang menyelenggarakan penyiaran lewat Acta Diurna adalah pihak kerajaan
2. Jurnalis atau Wartawannya, sebagai perantara dalam penyiaran, terdiri dari mereka yang mencari dan menyiarkan berita dengan memperoleh upah.
3. Alat Penyiarannya berupa papan pengumuman (Acta Diurna) dan catatan-catatan para jurnarius yang diperbanyak serta pemberitaan lisan dari para jurnarius tersebut.

            Sejak hilangnya Acta Diurna hingga kira-kira tahun 1000 SM, Para ahli sejarah Eropa tidak lagi dapat menunjukkan bukti-bukti adanya praktik-praktik jurnalistik seperti dilakukan orang-orang romawi itu. Baru, sejak abad pertengahan di Eropa dikenal praktik pemberitaan berupa kirim-mengirim surat, antar biara, istana dan antar para pangeran, dengan perantaraan kurir, sedangkan dikalangan rakyat biasa dikenal adanya minstreel (penyanyi keliling) selalu membawakan nyanyian dalam bentuk  lagu atau syair rakyat dengan isinya berupa informasi (menceritakan) tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di tempat-tempat lain.
  
2.2.4 Ditemukan Mesin Cetak di  Eropa
            Pertengahan abad ke 15 ditemukan seni cetak buku, yaitu: xylografi dan typografi. Xylografi berupa huruf  blok yang dipakai Cina. Typografi, huruf lepas yang digabung, dipakai di Eropa.
            Dalam sejarah percetakan dicatat Gutenberg sebagai penemu. Tetapi Belanda menyangkalnya. kata mereka Laurens J. Coster dari Haarlem menjadi guru Gutenberg. Murid itu mempraktekkan pengetahuannya di Jerman.
            Amerika Serikat memperkenalkan percetakan rotasi. Dengan rotasi itu gulungan kertas dicetak menjadi suratkabar dengan sekaligus dipotong dan dilipat. Mesin dapat mencetak berwarna dengan meninggi, mendatar maupun mendalam.
            Percetakan suratkabar belum dapat dimanfaatkan, karena keadaan masih kacau balau. hubungan dengan dunia terputus. Berita setempat dianggap kurang menarik untuk dimuat dalam surat kabar. keadaan jalanan buruk sekali. Perselisihan agama disertai kelaliman pihak gereja dan penguasa menciptakan suasana, yang tidak memberi kebebasan suratkabar berkembang. Baru setelah pelayaran menjadi ramai, kehidupan ekonomi, sosial dan politik bangkit lagi. Suratkabar hidup kembali sebagai media perdagangan, yang menggerakkan dunia.
            Surat dagang selain mengenai perdagangan memuat juga berita tentang hubungan politik, ekonomi dan sosial diberbagai negara. Keterangan itu dikumpulkan di pusat perdagangan dan tempat penimbunan barang. Berdasarkan informasi itu ditentukan kebijaksanaan dagang.
 Pada tahun 1450 di Eropa telah ditemukan orang cara-cara mencetak buku, namun surat kabar tertulis masih tetap merajai keadaan sampai menelan waktu satu setengah abad setelah ditemukan cara-cara mencetak buku itu.
Baschwitz (1949:27) menyatakan bahwa:
hal itu justru karena yang tertulis, saat itu, lebih cepat ketimbang yang tercetak, apalagi kekuatan oplah percetakan masih terbatas. Alasan kedua, karena pihak penguasa pada saat itu lebih yakin pada berita yang di tulis, mengingat mudahnya untuk diamati. Alasan selanjutnya, mungkin masih terdapat hal-hal yang menyangkut pembiayaan. adapun yang sesungguhnya adalah jelas bahwa dalam pertumbuhan jurnalistik tersebut orang agak konservatif untuk menggunakan cara dan alat-alat yang baru.


2.3 Serikat Penerbitan Suratkabar dan Hubungan Sejagad
2.3.1 Hari Lahir SPS
            SPS lahir dalam kancah Revolusi Physic. Muncul sebagai eksponen perjuangan dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 agustus 1945.
            Dalam zaman Revolusi Physic lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan di samping alat-alat perjuangan lainnya, sehingga kemudian (berkumpulah di Jokya tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers pada tanggal 18 juni 1946 yang mengikrarkan berdirinya serikat surat kabar (SPS).


2.3.2  F.I.E.J.
            F.I.E.J. (federation internationale des editeurs de journaux). adalah sebuah organisasi federasi penerbit surat kabar sedunia. yang didirikan di Paris tahun 1948 atas prakarsa serikat penerbit surat kabar Prancis dan Belanda. yang tergabung dalam F.I.E.J. adlah 70% dari pada suratkabar di seluruh dunia dan penggunaan kertas oleh para anggotanya meliputi 80% dari konsumsi dari seluruh dunia. F.I.E.J. mendapat kedudukan “consultative status” dari UNESCO pada tahun 1949 dan dari PBB pada tahun 1950 dan dari Dewan Eropa pada tahun 1974.

2.3.3  SPS dalam F.I.E.J.
            Sejak tahun 1974 SPS lebih meningkatkan aktivitasnya dalam hubungan internasional, khususnya dalam federasi penerbit suratkabar internasional, yaitu federation internationale des editeurs de journaux, atau disingkat F.I.E.J. Pers Dunia banyak dapat mempengaruhi opini dunia. Berhubungan dengan itulah SPS bergerak lebih giat dalam F.I.E.J.

»»  READMORE...

Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen Ave Maria Karya Idrus


Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen Ave Maria Karya Idrus
           
Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh (Aminuddin, 2004:79). Dalam hal ini tokoh terdiri atas sepuluh ragam: tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh antagonis, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral (Nurgiantoro, 2000: 176-190).
Berdasarkan sinopsis cerpen “Ave Maria”, tokoh yang penting untuk dibicarakan yaitu Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Tokoh Zulbahri dalam cerpen “Ave Maria” termasuk tokoh utama. Hal itu dapat dilihat bahwa Zulbahri tokoh yang paling terlibat dengan makna dan tema cerita. Tokoh Zulbahri paling banyak terlibat dengan tokoh lain (Syamsu dan Wartini). Selain itu, Zulbahri, tokoh yang banyak memerlukan waktu penceritaan. Wartini termasuk tokoh bulat (kompleks). Dalam hal ini ia sebagai sosok wanita munafik. Di depan Zulbahri, ia mengatakan cintanya hanya untuk Zulbahri, namun di depan Syamsu, Wartini mengatakan “Dapatkah seorang perempuan memiliki dua laki-laki sekaligus?” Wartini tidak memiliki kepribadian yang konsisten. Syamsu termasuk tipe tokoh berkembang. Ketika kecil ia ada hubungan cinta monyet, namun ketika ia berada di Shonanto, seolah Syamsu tidak ada hubungan apa-apa dengan Wartini.
Sekembali dari Shonanto, pada mulanya Syamsu dapat menjaga diri dan kehormatan, namun sedikit demi sedikit berubah. Ia perlahan-lahan mencintai Wartini (merusak hubungan Wartini dengan Zulbahri). Dengan kata lain, Syamsu mengalami perubahan (perkembangan perwatakan) akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd dan Lewis, dalam Nurgiantoro, 2000:188).
Dalam hal ini penokohan terdiri atas tiga variasi: teknik ekspositaris, teknik dramatik, dan  teknik identifikasi tokoh.
1. Teknik Ekspositoris
Teknik ekspositoris disebut juga sebagai teknik analitis. Dalam hal ini pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
Dalam cerpen “Ave Maria” Idrus menggunakan teknik ekspositoris untuk mendeskripsikan sosok Zulbahri. Untuk memperoleh secara jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
“Masih jelas teringat oleh kami, hari perkenalan kami dengan Zulbahri. Baju jasnya sudah robek-robek, di bagian belakang tinggal hanya benang-benang saja lagi, terkulai seperti ekor kuda.” (Idrus, 2004:13)

Teknik ekspositoris yang lain dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
Kami terharu dan kasihan mendengarkan cerita Zulbahri itu. Ia menengadah ke langit bertaburan bintang itu. Air matanya tergenang ...
Aku pergi tinggal di sebuah rumah di gang kecil. Yang menjadi hiburan bagiku tinggal hanya buku-buku lagi. Aku selalu mencari, mencari tempat jiwaku bergantung. Sekian lama aku mencari, tapi sia-sia belaka. Aku menjadi tak acuh kembali kepada diriku. Pakaianku tak kuhiraukan pula, kadang-kadang pakai sepatu, kadang-kadang tidak. (Idrus, 2002:19-20 )

Dengan teknik ini penggambaran tokoh menjadi lebih konkret.

2. Teknik Dramatik
Jika teknik ekspositoris, pengarang memberikan deskripsi, dalam teknik dramatik para tokoh ditampilkan mirip dengan drama. Dengan teknik ini cerita akan lebih efektif.
Teknik dramatik terdiri atas delapan jenis yaitu teknik cakapan, teknik laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, teknik pelukisan fisik (Burhan Nurgiantoro, 2000:201-210).
Dalam cerpen “Ave Maria”, Idrus memanfaatkan penokohan dramatik bentuk teknik cakapan, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, dan teknik pelukisan latar. Teknik cakapan dimaksudkan untuk mencerminkan kedirian tokoh dan menunjukkan perkembangan plot. Hal ini misalnya pada kutipan sebagai berikut.
Adakah yang hendak kaubicarakan dengan daku, Zul? Ceritakanlah.
Perkataan Wartini menambah semangatku untuk menguraikan segalagalanya kepadanya. Begitulah kami termenung setelah kuceritakan bahwa Syamsu, adikku hendak pindah dari Shonanto ke Jakarta dan hendak tinggal bersama kami. Kuterangkan pula bahwa aku tak dapat menolak. Jika kutolak, aku dipandang rendah oleh orang kampungku. Wartini pun mengerti tentang hal itu. Tentang bahayanya Syamsu tinggal bersama kami, terus terang pula kuuraikan kepada Wartini.Takutmu berlebih-lebihan, Zul. Aku cinta kepadamu. Syamsu hanya teman mainku di waktu kecil. Cinta demikian takmasuk ke dalam hati. Cinta monyet, kata orang. (Idrus, 2004:16)

Teknik cakapan terdapat pula pada kutipan sebagai berikut.
“Mengapa menangis, Tini? Engkau bersedih?”“Aku terkenang pada masa silam. Pernah kita memainkan lagu ini dulu bersama-sama.”“Ya, waktu itu takkan dapat kulupakan selama-lamanya, Tini. Waktu itu aku sedang penuh dengan cita-cita yang sangat tinggi.”“Dan semua cita-cita itu kandas bukan, Syam? Engkau tak meneruskan pelajaran biolamu.” (Idrus, 2004:17)

             Teknik pikiran dan perasaan mengungkap bagaimana keadaan jalan pikiran, serta perasaan tokoh dalam banyak hal yang mencerminkan sifat kediriannya. Hal ini dalam cerpen “Ave Maria” dapat dilihat sebagai berikut.
Tak ada yang dapat dicela tentang pergaulan Syamsu dan Wartini. Keduanya hormat-menghormati. Hatiku jugalah yang berkata-kata bahwa aku seorang perampok. Hatiku berkata, aku berdosa terhadap Syamsu. Dan kata hatiku, cinta Wartini tak lama lagi akan timbul kembali terhadap Syamsu.
Perasaan-perasaan yang demikian menjadikan daku sangat curiga. Segala percakapan Wartini kupikir-pikirkan kalau kalau ada mempunyai arti lain ... (Idrus, 2004:17)

            Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengarang melalui tokoh Zulbahri mengungkapkan kekacauan pikiran dan perasaannya. Dalam hal ini Zulbahri merasa was-was bahwa api cinta antara Wartini dan Syamsu yang sudah padam menyala kembali. Karena khawatirnya, segala kata Wartini kepada Syamsu dipikir-pikir.
Teknik arus kesadaran dimanfaatkan oleh Idrus dalam cerpennya “Ave Maria”. Teknik tersebut berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara pilah karena keduanya menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh. Dalam hal ini tanggapan indra bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi. Arus kesadaran sering disamakan dengan sinandika (monolog interior). Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
Begitulah keadaanku sampai waktu kita berkenalan pertama kalinya. Aku heran sekali. Waktu aku melihat majalah di bawah meja bundar ini, entah dari mana timbul keinginanku hendak membaca carita pendek yang selalu ada dalam tiap-tiap majalah itu. Kuakui, sangatlah besar pengaruhnya ceritacerita pendek itu kepada jiwaku.Baru aku insaf bahwa kehidupanku yang dulu-dulu itu semata-mata berdasarkan kepentingan diri sendiri belaka. Aku sangat menyesal. (Idrus, 2004:20

Teknik pelukisan latar dimanfaatkan Idrus dalam cerpen “Ave Maria “ sebagai prasarana untuk menggugah imaginasi pembaca sehingga apa yang diungkapkan menjadi lebih hidup. Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini .
Angin malam mendesir-desirkan daun –daun jarak. Bulan semakin terang. Zulbahri berhenti berbicara. Dari kantongnya dikeluarkannya sehelai kertas, diberikannya kepada ayah. Air teh yang disediakan ibu dia tak disinggung – singgungnya. Ia berdiri lalu meninggalkan kami ... (Idrus, 2004:20)

            Untuk melukiskan situasi malam terang bulan, Idrus mengungkapkan angin malam mendesir-desirkan daun-daun jarak. Bulan semakin terang. Hal ini dimaksudkan bahwa lukisan suasana untuk mengantarkan Zulbahri dengan pikiran bersihnya mengabdikan kepada nusa dan bangsa menjadi tentara jibaku. Selain itu teknik pelukisan latar dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
Pada malam seperti ini pula, Zulbahri berpisah dengan kami buat selama-lamanya. Siapa yang takkan terkenang kepada kejadian itu. Kami melihat ke bulan purnama raya, dengan segala kenangkenangan kepada Zulbahri yang telah
dapat memperbaharui jiwanya. Dari radio umum kedengaran lagu Menuetto in G ciptaan Beethoven. (Idrus, 2002:20)

3. Teknik Identifikasi Tokoh
Dalam bidang penokohan, Idrus juga memanfaatkan identifikasi tokoh. Cara ini ada dua ragam yaitu prinsip pengulangan dan prinsip pengumpulan. Pada prinsip pengulangan, pengarang mengulang-ulang sifat kedirian tokoh sehingga pembaca dapat memahami dengan jelas. Prinsip pengumpulan dalam hal ini kedirian tokoh
diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita.
Dalam cerpen “Ave Maria” pengarang memanfaatkan cara prinsip pengulangan prinsip pengumpulan tidak terdapat di dalamnya. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
… Anehnya, sungguhpun Wartini menerangkan bahwa ia hanya mencintai aku sendiri, tapi hatiku terus berkata bahwa Wartini lebih dekat kepada Syamsu. Aku merasa diriku sebagai seorang perampok.…
Hatiku jugalah yang berkata-kata bahwa aku adalah seorang perampok. (Idrus, 2002:17)








»»  READMORE...

Cerita Pendek (CERPEN)


2.1 Pengertian Cerita Pendek

            Cerita pendek merupakan jenis karangan yang berisi suatu cerita.Cerita pendek (cerpen) adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek (Kosasih, 2008:222). Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-5.000 kata. Karena itu, cerita pendek sering diungkapkan dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk. Oleh karena itu, cerita pendek pada umumnya bertema sederhana. Jumlah tokohnya terbatas. Jalan ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup yang terbatas. Dalam kamus istilah sastra mendefinisikan
            Cerita pendek adalah suatu karangan pendek yang berbentuk naratif atau cerita prosa, yang mengisahkan manusia yang penuh perselisihan, menharukan atau menggembirakan, dan mengandung lesan yang sulit untuk dilupakan; kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominant, dan memusatkan diri pada satu tokoh atau pelaku cerita dalam situasi tertentu. (2006:62)

            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Alur lebih sederhana.
b. Tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang.
c. Latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkungan yang relatif terbatas.
d. Tema dan nilai-nilai kehidupan yang disampaikan relatif sederhana.

2.2 Unsur-unsur Cerita Pendek

Menurut Nurgiyantoro dalam bukunya Pengkajian Prosa Fiksi unsur- unsur intrinsik ialah unsur- unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur- Unsur-unsur intrinsik tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Tema cerita
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
2. Alur Cerita
Sebuah cerpen menyajikan sebuah cerita kepada pembacanya. Alur cerita ialah peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan atau hubungan tertentu. Sebuah rangkaian peristiwa dapat terjalin berdasar atas urutan waktu, urutan kejadian, atau hubungan sebab-akibat. Jalin-menjalinnya berbagai peristiwa, baik secara linear atau lurus maupun secara kausalitas, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh, padu, dan bulat dalam suatu prosa fiksi.
3. Penokohan
Dalam pembicaraan sebuah cerita pendek sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama , yang oleh pembaca ditafsirkan memilki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diespresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sedangkan penokohan ialah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh atau perwatakan, sebab penokohan sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Tokoh (pelaku) cerita dalam cerpen terbatas. Berbeda dengan novel yang digambarkan secara mendetail, tokoh dalam cerpen perlu lebih dicitrakan lebih jauh oleh si pembaca. Dengan demikian, cerpen yang baik hendaklah mampu membangitkan imajinasi pembaca lebih jauh. Tokoh-tokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, termasuk bagaimana hubungan antartokoh itu, baik hal itu dilukiskan secara langsung maupun tidak langsung. Kesemuanya itu, tentu saja, akan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan konkret tentang keadaan para tokoh cerita tersebut. Dalam cerpen, pembaca mengira-ngira gambaran tentang jati diri tokoh sesuai dengan imajinasi pembaca sendiri.
 Mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kehadiran tokoh semestinya mempunyai kepribadian sendiri. Hal ini bergantung masa lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, maupun pengalaman hidupnya. Cerpen yang baik hendaklah mampu menampilkan jatidiri tokoh walaupun tidak harus digambarkan secara implisit (langsung).
 Cara tokoh dalam menghadapi masalah maupun kejadian tentulah berbeda-beda. Hal ini disebabkan latar belakang (pengalaman hidup) mereka. Dengan menggambarkan secara khusus bagaimana sang tokoh sedih, kita lebih banyak diberi tahu latar belakang kepribadiannya. Penulis yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh ceritanya, berhasil pula dalam menghidupkan tokoh. Kita pun bisa belajar banyak melalui cara merasa dan berpikir tokoh-tokoh yang hadir dalam cerpen. Hal ini berhubungan dengan manifestasi sastra untuk kemanusiaan.
Adapun penggambaran tokoh dapat ditempuh dengan beberapa jalan yang muncul dalam diri tokoh, yaitu sebagai berikut.
a. Apa yang diperbuat oleh para tokoh
Tindakan-tindakan para tokoh, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis. Watak seseorang memang kerap kali tercermin dengan jelas pada sikapnya dalam situasi gawat (penting), karena ia tak bisa berpura-pura, ia akan bertindak secara spontan menurut karakternya: Situasi kritis di sini tak perlu mengandung bahaya, tapi situasi yang mengharuskan dia mengambil keputusan dengan segera.
b. Melalui ucapan-ucapan tokoh
Dari apa yang diucapkan oleh seorang tokoh cerita, kita dapat mengenali apakah ia orang tua, orang dengan pendidikan rendah atau tinggi, sukunya, wanita atau pria, orang berbudi halus atau kasar, dan sebagainya.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh
Penulis sering membuat deskripsi mengenai bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya. Yaitu tentang cara berpakaian, bentuk tubuhnya, dan sebagainya. Tapi dalam cerpen modern cara ini sudah jarang dipakai. Dalam fiksi lama penggambaran fisik kerap kali dipakai untuk memperkuat watak.
d. Melalui pikiran-pikirannya
Melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh adalah salah satu cara penting untuk membentangkan perwatakannya. Dengan cara ini pembaca dapat mengetahui alasan-alasan tindakannya.
e. Melalui penerangan langsung
            Dalam hal ini, penulis mernbentangkan panjang lebar watak tokoh secara langsung. Hal ini berbeda sekali dengan cara tidak langsung, yang pengungkapan watak lewat perbuatannya, apa yang diucapkannya, menurut jalan pikirannya, dan sebagainya.
Menurut Kosasih dalam buku Ketatabahasaan dan kesusastraan mengemukakan
Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh tersebut, pengarang dapat menggunakan teknik sebagai berikut. a. Teknik analitik, karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh pengarang. b. Teknik dramatik, karakter tokoh dikemukakan melalui: 1) penggambaran fisik kehidupan tokoh, 2) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh, 3) penggambaran tata kebahasaan tokoh, 4) pengungkapan jalan pikiran tokoh, dan 5) penggambaran oleh tokoh lain. (2008:228)

Penokohan yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya melalui:
1. Tindakan, ucapan dan pikirannya
2. Tempat tokoh tersebut berada
3. Benda-benda di sekitar tokoh
4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya
5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang

4. Latar
Sebuah cerita pada hakikatnya ialah peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu tertentu dan pada tempat tertentu. Menurut Nadjid (2003:25) latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, antara lain sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu serta inisial tertentu.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ” kapan ” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” teersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
c. Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks serta dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu.

6. Gaya Bahasa dan Nada
Bahasa dalam cerpen memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang. Namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa cerpen ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas. Nada pada karya sastra merupakan ekspresi jiwa.

»»  READMORE...

Folklor dan Genre


Folklor dan Genre
Apabila kebudayaan pada umumnya, menurut Clark Wissler, Ralph Linton, dan kawan-kawan, mempunyai unsur-unsur yang disebut cultur universals, yang kemudian diperinci lagi menjadi aktivitas-aktivitas kebudayaan (cultural activities), kompleks unsur-unsur (trait complexes), unsur-unsur (traits), unsur-unsur kecil (items), maka folklore juga mempunyai unsur-unsur yang semacam itu yang disebut dengan istilah Perancis genre (baca syanre), atau dapat diterjemahkan menjadi bentuk dalam bahasa indonesia.
Menurut Danandjaya (2007:2) mengemukakan bahwa:
Folkor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat (mnemonic device).

Sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. seperti yang terdapat dalam Kamus Istilah Sastra (2006:100) menjelaskan bahwa folklore adalah adat istiadat dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan; suatu budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki budaya lain.
 Genre dalam bahasa indonesia dapat padankan dengan jenis, tipe atau kelas. Seperti  yang terdapat dalam Kamus Istilah Sastra (2006:105) menjelaskan bahwa genre adalah jenis yang dihasilkan dari kesastraan atau kesenian yang mempunyai gaya, bentuk, atau isi tertentu.
Sebagai bagian dari kebudayaan, folklor memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan dari ragam budaya yang lainnya. Ciri-ciri folklor menurut Danandjaja (2007:3) adalah sebagai berikut:
a)      Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
b)      Bersifat tradisional.
c)      Membentuk versi atau varian yang berbeda-beda dikarenakan penyebarannya secara lisan.
d)     Bersifat anonim.
e)      Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
f)       Mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
g)      Bersifat pralogis.
h)      Merupakan milik bersama dari kolektif tertentu.
i)        Pada Umumnya bersifat polos dan lugu, bahkan sering berkesan kasar dan spontan.

3.2 Bentuk-bentuk Folklor
Menurut Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari AS, dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya:
  1. folklor lisan (verbal folklore)
Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan. bentuk-bentuk (genre) folklore yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.
Sastra lisan atau dalam bahasa Inggris oral literature diartikan sebagai unwritten literature, yaitu bentuk-bentuk sastra yang hidup dan tersebar secara tidak tertulis . Banyak ahli sastra yang menghindari penggunaan kata literature yang dalam bahasa Indonesia diartikan sastra. Kata literature mengacu pada literary/literacy yang selalu berarti tertulis. Jadi istilah oral literature atau sastra lisan dianggap rancu karena sekaligus memuat dua unsur yang bertentangan, yaitu lisan dan tertulis.
Sebenarnya kerancuan tersebut tidak perlu terjadi bila sastra atau literature diterjemahkan secara luas. Maksudnya, sastra tidak selalu berarti tertulis atau dengan kata lain, sastra tidak identik dengan bahasa tulis. Lagipula, dalam perkembangannya, istilah literature sendiri pada saat ini tidak selalu mengacu kepada karya-karya sastra tertulis (Teeuw, 1988: 38). Sedangkan menurut Finnegan, sastra lisan akan dapat diterima dan berguna tergantung kapada materi yang dianalisis serta permasalahan yang diajukan dalam analisis (Finnegan, 1992: 9).
Sebagai akibat dari anggapan kerancuan istilah, sastra lisan sering dipertukarkan dengan istilah tradisi lisan. Tradisi merupakan budaya yang berguna, cara untuk melakukan suatu hal, unik, berproses dalam hal pekerjaan, ide, atau nilai, dan kadang-kadang berkonotasi kuno serta muncul secara alami. Jadi, tradisi lisan adalah tradisi yang bersifat verbal atau tidak tertulis, milik masyarakat (folk), dan memiliki nilai (Finnegan, 1992: 7). Sementara itu, Danandjaya justru menyamakan tradisi lisan dengan folklor lisan (Danandjaya dalam Pudentia, 1998: 54). Memang ada karakteristik yang menyamakan sastra lisan dengan tradisi lisan atau folklor lisan yaitu bahwa penyebaran dan pewarisannya terjadi secara lisan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan ataupun folklor lisan. jadi, sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi sastra suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (Hutomo, 1991: 60). Adapun sastra lisan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan yang setengah lisan. Sastra lisan murni merupakan ragam sastra lisan yang penyampaiannya benar-benar secara lisan tanpa alat bantu lain. Sastra lisan murni pada umumnya berbentuk prosa rakyat, prosa liris dan bentuk-bentuk puisi rakyat.
Sedangkan sastra lisan yang setengah lisan merupakan sastra lisan yang disampaikan dengan bantuan tingkah laku serta bentuk-bentuk seni yang lain. Sastra lisan jenis ini misalnya drama panggung dan drama arena, serta sastra lisan murni yang disampaikan dengan alat musik. Seperti kita ketahui, carita pantun (Sunda), kaba (Minangkabau), dan kentrung (Jawa) biasanya dipertunjukkan dengan alat musik tradisional (Hutomo, 1991: 62-64).

Dalam hal ini, cerita-cerita Batuwangi merupakan sastra lisan yang murni, yaitu prosa rakyat atau cerita rakyat. Jenis-jenis prosa rakyat di antaranya adalah mite, legenda, dongeng, dan bentuk-bentuk naratif lainnya (Finnegan, 1992: 146-148, Danandjaya, 2002: 50). Di dalam analisis perlu juga mengklasifikasikan cerita-cerita Batuwangi sesuai karakteristik yang dimiliki masing-masing cerita.


  1. folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, atau sering kali juga disebut ”takhyul”, adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat  adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
  1. folklor bukan lisan (non partly verbal folklore)
folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material.

3.3 Istilah-istilah
Dalam penelitian satra lisan kita diminta untuk memahami istilah-istilah yang sering digunakan oleh para ahli praktek, masing-masing istilah itu sering kali sulit diacukan pada sesuatu bahan yang dijumpai, sebab dalam satu bahan sering pula dapat diacukan dua atau lebih istilah yang tersedia.
I.                   Bahan yang bercorak cerita:
1.      Mitos (myths)
Mite adalah prosa naratif yang dalam masyarakat pemiliknya diyakini sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi di masa lampau, dianggap memiliki kekuatan untuk menjawab ketidaktahuan, keragu-raguan, atau ketidakpercayaan, sering diasosiasikan dengan kepercayaan dan ritual, mite biasanya dianggap suci, tokohnya bukan manusia, melainkan binatang, dewa, atau pahlawan kebudayaan yang terjadi di dunia yang belum seperti yang kita kenal sekarang (Sutarto,1997: 12-13).
Dalam khazanah sastra nusantara, Yus Rusyana menjelaskan bahwa mite menggambarkan peristiwa yang dibayangkan pada masa lalu yang sudah tidak diketahui lagi kapan terjadinya, ditokohi oleh manusia atas atau manusia suci yang mempunyai kekuatan supranatural, atau manusia yang berasal dari atau yang mempunyai hubungan dengan dunia atas, yaitu kedewaan atau kayangan. Mite dapat diklasifikasikan menjadi mite penciptaan dan mite yang menceritakan asal-usul terbentuknya sesuatu (Rusyana, 2000: 5-7).

2.      Legenda (legends)
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia yang seperti kita kenal sekarang (Danandjaya, 2002: 66).
Dalam khasanah sastra Nusantara, legenda pun dapat diklasifikasikan sebagai 1) legenda penyebaran agama Islam, dan 2) legenda pembangun masyarakat dan budaya. Kelompok legenda penyebar agama Islam mengandung unsur penyebaran agama Islam di tempat tertentu di Indonesia oleh para pelaku yang memerankan tokoh ulama. Sementara itu, tokoh legenda pembangun masyarakat dan budaya misalnya melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kebudayaan seperti membangun rumah, melakukan upacara tertentu, membuat senjata, menjadi raja dan sebagainya (Rusyana, 2000: 41-42).
Legenda merupakan jenis prosa rakyat yang paling mempunyai nilai sejarah, terutama sebagai sumber penyusunan sejarah lokal desa-desa di Indonesia dari masa yang belum begitu lampau. Namun demikian, untuk menggunakannya sebagai sumber sejarah, legenda harus dibersihkan dari unsur-unsur folklor yang pralogis dan memiliki formula sastra lisan, serta perlu juga mempelajari sejarah penyatuan desa-desa tersebut dan bentuk-bentuk folklor lain yang ada di masyarakat (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 472-474).

3.      Epik (epics)
Epik adalah cerita-cerita perihal kepahlawanan seorang tokoh. contoh epik yaitu Jaka Tingkir, Hang Tuah, dan lain-lain.

4.      Cerita tutur (ballads)
Cerita Tutur atau ada juga yang menyebutnya; sebagai balada, adalah cerita atau kisah yang penyampaiannya dinyanyikan/ diiramakan. Indonesia, sebenarnya, banyak sekali kisah yang dituturkan secara lisan. Misalnya kisah-kisah yang dituturkan oleh tukang kaba, juru pantun, dan lain-lain.
Menurut Surana (2001:69) menyatakan bahwa balada ialah cerita, kisah, hikayat yang digubah dalam bntuk puisi. sebuah balada yang terkenal ialah ”Hang Tuah” karya Amir Hamzah.

5.      Dongeng dan Bentuk Naratif Lainnya.
Dongeng adalah prosa naratif yang bersifat fiksi, tidak dipercayai sebagai dogma atau sejarah, mungkin terjadi ataupun tidak, tidak dianggap serius, dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, dan biasanya merupakan pengalaman perjalanan binatang, kadang-kadang peri, atau tokoh manusia (Bascom dalam Finnegan, 1992: 148-149). Dongeng juga merupakan cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun ada juga yang melukiskan kebenaran, pelajaran (moral) atau bahkan sindiran (Danandjaya, 2002: 83).

Danandjaya membagi dongeng ke dalam empat kelompok, yaitu:
a. dongeng-dongeng binatang (animal tales),
b. dongeng-dongeng biasa (ordinary folktales),
c. lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes), dan
d. dongeng-dongeng berumus (formula tales).

           Selain dongeng, bentuk naratif prosa rakyat di antaranya adalah memori atau memorat, yaitu kisah seseorang yang berisi pengalaman yang luar biasa. Cerita seperti ini tidak mempunyai struktur tertentu. Yang menarik dari memorat adalah hubungannya dengan kepercayaan penduduk setempat (Hutomo, 1991:65). Sementara itu, Finnegan memisahkan fabel dan sage sebagai bentuk naratif yang oegbeda dengan dongeng.

II.                Bahan yang bercorak bukan cerita
1.      Ungkapan (folk speech)
Ungkapan ialah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan sesuatu maksud dengan arti kiasan.

2.      Nyanyian (songs)
Nyanyian adalah bunyi (suara) yang berirama dan berlagu musik. Nyanyian ini bermacam-macam, Misalnya:
a.       Nyanyian anak-anak
b.      Nyanyian nina-bobo
c.       Nyanyian kerja
d.      Nyanyian permainan
e.       Nyanyian situasi
f.       Nyanyian sedih waktu pemakaman

3.      Teka-teki (riddles)
Teka-teki adalah soal yang berupa kalimat (cerita) sebagai permainan atau untuk mengasah pikiran.

4.      Puisi lisan (rhymes)
Puisi lisan adalah puisi yang dilisankan saja. Misalnya, ucapan-ucapan sebagai berikut:
a.       Ting-ting gula batu, budak jahat memang begitu.
b.      Tang tang tut, keladi wa-wa, siapa kentut berlaki apek tua.

III.             Bahan yang bercorak tingkah laku (drama)
1.      Drama panggung dan drama arena
Dalam hubungannya sastra lisan, drama –drama tradisional yang dipertunjukkan di panggung atau arena terbuka sangat menarik. Termasuk dalam kelompok drama panggung dan drama arena ini adalah tukang jual obat.
»»  READMORE...

Sajak-Sajak Sepatu Tua Karya WS Rendra



SAJAK-SAJAK SEPATU TUA

MANCURIA
Di padang-padang yang luas
kuda-kuda liar berpacu.
Rindu dan tuju selalu berpacu.
Di rumput-rumput yang tinggi
angin menggosokkan punggungnya yang gatal.
Di padang yang luas aku ditantang.
Hujan turun di atas padang.
Wahai, badai dan hujan di atas padang!
Dan di cakrawala, di dalam hujan
kulihat diriku yang dulu hilang.

HOTEL INTERNASIONAL, PYONGYANG
Di malam yang larut itu
dengan jari-jari yang rusuh kubuka pintu balkon
dan lalu bergumullah diriku dengan sepi.
Malam musim gugur yang tidak ramah
mengusir orang dari jalanan.
Dan pohon-pohon seperti janda yang tua.
Kecuali angin tak ada lagi yang bernyawa
Di dalam sepi orang menatap diri sendiri
menghadap diri sendiri
dan telanjang dalam jiwa.
Angin Pyongyang mengacau rambutku
dan bertanya:
“Lelaki kurus dengan rambut kusutmasai
engkau gerangan putra siapa?”
Lalu kulihatlah wajahku yang tegang,
diriku yang guyah, serta hatiku yang gelisah.
Aku mencoba ramah dan menegur diriku:
“Hallo! — Ada apa ?”
Malam yang larut itu gemetar dan kelabu.
Kesepian menghadap padaku bagai kaca.
“Ayolah, buyung!
Kau toh bukan kakek yang tua!”
Lalu akupun tersipu
meskipun tahu
itu tak perlu

MORANBONG, PYONGYANG
Aku akan tidur
di rumputan
di tepi kolam.
Sementara undan
dan belibis
berenangan.
Lihatlah, aku berdosa.
Aku akan tidur
di bawah pohon liu
yang rindang.
Dalam waktu yang mewah
tapi hampa
aku berjalan dalam taman
mengintip pasangan bersembunyi
di dalam hutan.
Sambil makan
jagung bakar
dan apel Korea
mendengarkan lagu rakyat
dinyanyikan orang.
Kantongkupun penuh dosa.
Lalu kupilihlah tempat ini
tempat tidurku di rumputan
dekat tembok pagar yang tua
memandang kuil beratap merah
dan angin lewat
untuk pergi ke lembah yang jauh.
Mencuri dosa.
Aku akan tidur
di tepi kolam
di bawah pohon liu
yang rindang.
Aku payah oleh dosa.

SANATORIUM CHAKHALINaGARA, MOSKWA
Hatiku terbaring telanjang di meja
di atas piring
di samping pisau, senduk, dan garpu,
selagi aku duduk di kursi putih
dengan koran tak bisa dibaca
di pangkuanku.
Pintu balkon yang terbuka
menampakkan terali yang hitam
serta langit yang tua renta.
Bayangan gelas dan teko porselin
dipantulkan kaca pintu.
Kemudian nampak pula diriku ;
wajahku yang sepi setelah dicuci,
hatiku yang rewel dan manja.
Siapa pula aku tunggu?
Siapa atau apa?
Perawat datang dengan wajah yang heran.
Ia menggelengkan kepala:
“Kamerad tak makan?”
“Lyuda, aku tak bisa makan.
Tak bisa kumakan wajah kekasih
tak bisa kuminum ibuku bersama susu
dan tak bisa kuusar mata adik dengan mentega!”
Ia mengangkat bahu dan bertanya.
Ah, ia toh tak tahu bahasa rindu!
Apabila ia lenyap dari pintu
dengan langkah lunak di atas permadani
ia tak akan tahu
bahwa waktu pernah beku dan berhenti
segala bunyi dan warna tanpa makna
dan bahkan
bagi mimpi, duka, derita, maupun kebahagiaan
tak ada pintu yang membuka.

SUNGAI MOSKWA
Di hari Minggu
Valya tertawa
dan rambutnya yang pirang
terberai.
Di atas biduk yang kecil merah
kami tempuh air
melewatkan jam-jam yang kosong.
Berpuluh pohonan
tumbuh di dua tepi sungai
bagai jumlahnya dosa kami.
Semua daun
berubah warna.
Musim gugur sudah tiba.
Di atas air yang hijau
kami meluncur
diikuti bayang-bayang yang kabur.
Melewati lengkungan jembatan
bagai melewati lengkungan kekosongan.
Musim gugur sudah tiba.
Valya tertawa
dadanya terguncang
di dalam sweaternya.
Musim gugur sudah tiba.

SEBUAH RESTORAN, MOSKWA
Melalui caviar dan wodka
kami langgar sepuluh dosa.
Di atas kain meja yang putih
terbarut tindakan yang sia-sia.
Botol-botol anggur yang angkuh
dan teman wanita yang muda
adalah hiasan malam yang terasa tua.
Hari-hari yang nampak koyak-moyak
disulam dengan manis oleh wajahnya.
Dalam kepalsuan
kami berdua bertatapan.
Bahunya yang halus berkilau biru
oleh cahaya lilin dan lampu.
Pintu-pintu berpolitur
dengan tirai untaian merjan.
Sementara musik berbunyi
jam berapa kami tak tahu.
Di atas kursi Perancis
kami bertukar senyum
dan tahu
masing-masing saling menipu.
Dengan gelas-gelas yang tinggi
kita membunuh waktu
dalam dosa.
Bila begini:
manusia sama saja dengan cerutu
bistik ataupun whiski-soda
berhadapan dengan waktu
jadi tak berdaya.

SRETENSKI BOULEVARD
Di sepanjang Sretenski Boulevard
kuseret langkahku
dan kebosananku.
Di bawah naungan pepohonan rindang
di sepanjang jalan bersih dengan bunga-bungaan
kucekik kebosananku
dalam langkah-langkah yang lamban.
Di Sretenski Boulevard
di bangku panjang
di antara pasangan berciuman
dan orang tua membaca buku
kuhenyakkan tubuhku yang lesu
kuhenyakkan kebosananku.
Maka
sambil diseling memandang
pasangan yang lewat bergandengan
dan ibu mendorong bayi dalam kereta
kupandang pula di depanku
kelesuanku dan kejemuanku.
Terang bukan soal kesepian
di tengah berpuluh teman
dan wanita untuk berkencan.
Masing-masing orang punya perkelahian.
Masing-masing waktu punya perkelahian.
Dan kadang-kadang kita ingin sepi serta sendiri.
Kerna, wahai, setanku yang satu
bernama kebosanan!
Di sepanjang Sretenski Boulevard
di sepanjang Sretenski Boulevard
di tempat yang khusus untuk ini
kuseret langkahku
dan kebosananku.
Lalu kulindas
di bawah sepatu.

HOTEL AICHUN, KANTON
Dalam siang yang tenteram
kubuka jendela lebar-lebar
menangkap hawa luar.
Langit yang ramah
dan sejalur ranting leci
membayang nampak pada kaca
di daun jendela.
Loncengpun berbunyi
duabelas kali.
Dan kipas listrik berputar.
Serba tenang, serba tentram.
Ketika menengok ke bawah
nampak orang-orang yang lamban kepanasan
di jalan batubata.
Serta lebih jauh lagi
nampaklah sungai Mutiara
yang lebih payah dari semuanya.
Payah tapi damai.
Tirai sutra Cina penuh berbunga
menambah indah kamar ini.
Dan aku berdandan
di depan lemari berkaca yang besar
serta penuh ukiran naga.
Dalam sepi dan damai.
Sekarang aku merasa tentram
setelah semalam bergulat dalam diri
dan meredakan rindu dengan mengerti.
Tentu
masih juga mengenangkan
tanah kelahiranku
tetapi bersama kesabaran.
Tanpa menulis sajak-sajak
tanpa bertekun di atas buku
aku ingin memuasi sepi.
Dan sambil membuat lingkaran-lingkaran
dengan asap rokok
kunikmatilah sebuah istirah
yang lumayan.
»»  READMORE...